Rabu, 16 Februari 2011

Ada kejutan menarik di balik TPA Leuwi Gajah

Tanggal 21 Februari 2005, terjadi bencana besar yang menimpa kota Bandung. Sampai seketika itu juga Bandung mendapat sebutan "Bandung Lautan Sampah". Puluhan rumah tertimbun, 157 warga menemui ajalnya. Siapa yang punya mimpi akan berakhir hidupnya dilahap monster sampah?

Nah, itu kejadian 6 tahun yang lalu. Sejarah suram kota Bandung yang harusnya menjadi kota yang bersahabat, nyaman, dan dicintai warganya. Setelah kejadian itu, otomatis TPA di kota Bandung harus berpindah lokasi. Hingga saat ini, TPA Sarimukti penggantinya. Tapi, siapa yang mau tempat tinggalnya dikelilingi tumpukan sampah? Tak lama lagi kontrak dengan TPA Sarimukti akan habis, lantas sampah kota Bandung mau dibawa ke mana?

Isu ini menjadi perbincangan hangat sekarang ini. Pemerintah Kota Bandung mulai cari ide nih, bagaimana "membuang" sampah-sampah Kota Bandung supaya kota ini tetap "bersih"? Salah satu yang menjadi pilihan adalah mengembalikan lagi fungsi TPA Leuwi Gajah. Nah, saya jadi penasaran nih, sebenarnya bagaimana sih keadaan di sana sekarang setelah 6 tahun? Yang saya dengar sih, dengan ditutupnya TPA Leuwi Gajah, warga di sana kehilangan mata pencaharian karena lokasi itu adalah sumber utama perekonomian mereka. Dengan dibukanya lagi TPA ini, maka warga di sana akan sangat mendukung sekali.

........

Benarkah itu?


Selasa, 15 Februari 2011 (libur Maulid)
08.00 WIB
Sekretariat U-Green ITB

Saya, Putri, Ardhy, Rendy, Fusi, Adit, Rizky, Desi, Radit, dan Afifah meluncur dari kampus ITB menuju ke TPA Leuwi Gajah. Kami akan mengadakan kunjungan ke sana, sebelumnya kami mau survey lokasi dulu supaya bisa menyusun teknis acara nantinya, karena rencananya kami akan mengajak sekitar 50 anggota U-Green untuk bermain ke sana.

Dengan 130 ribu rupiah, kami mencarter angkot untuk perjalanan pulang balik Leuwi Gajah-ITB. Yang ada di bayangan saya, TPA Leuwi Gajah itu ...

Yah namanya juga TPA. Yang terbayang adalah panas, bau, becek, banyak asap, udara kering, dan teriknya matahari yang membuat pusing. Jadi saya sudah siap tempur nih dengan sepatu sneakers dan kaus lengan panjang yang tidak gerah tapi melindungi dari paparan sinar UV.

Saya sempat dengar dari Rizky yang sudah pernah ke sana sebelumnya dengan Ceu Yuni dan Kang Herwin dari Pangasuh Bumi, kalau banyak hal menarik ternyata di sana. Kearifan lokalnya sungguh terjaga katanya. Lho? Saya semakin tidak kebayang nih, sebenarnya bagaimana keadaan di sana ya?

Kira-kira setelah 1 jam perjalanan lancar, kami berhenti tepat di depan "mantan" TPA ini. Masih ada sampah sih di beberapa spot, tapi bukan gunungan sampah bau yang saya bayangkan. Kami menelusuri jalan aspal, menuju ke rumah Kepala Desa. Waaah ternyata daerah sini sudah jadi hijau dan anginnya sejuk.

Masih ditemukan tempat pengumpul sampah kresek

Di ujung jalan terdapat semacam gapura, penanda lokasi kampung. Ternyata kampung ini namanya Cireundeu. Wah di dekat rumah saya juga ada nama daerah Cirendeu, hehe. Tepat di samping gapura adalah rumah Bapak Asep, kepala desa Cireundeu. Rumahnya asri dan nyaman kelihatannya. Beliau menggunakan bahan kayu gelondongan, bambu, dan rotan pada dindingnya. Kompornya pun ternyata masih kompor yang menggunakan arang dan letaknya di luar. Waktu kami ke sana, rumah ini tidak dikunci dan dibuka begitu saja. Ternyata tidak ada orang di rumah. Setelah bertanya ke warga, kami berjalan menuju ke balai desa.

Gapura menuju Kampung Cireundeu

kediaman Pak Asep, Kepala Desa

Penunjuk jalan yang masih menggunakan aksara sunda

Di balai desa ini, tempatnya nyaman sekali. Lagi-lagi dindingnya menggunakan bambu. Di dindingnya ada belasan sertifikat yang didapatkan desa ini, mayoritas tentang pangan dan lingkungan. Ada juga foto bersama Pak SBY. Di sudut-sudutnya diletakkan gamelan sunda. Tak lama kami disambut hangat oleh Pak Asep si kepala desa, dan Kang Yana. Kami berbincang tentang banyak hal yang berkaitan dengan desa ini.

Balai desa, tempat kami mengobrol

Piagam-piagam penghargaan



Sudah 22 tahun warga kampung ini "menikmati" sampah. Sampai akhirnya terjadilah peristiwa longsornya TPA itu. Masa kelam itu memberikan hikmah juga. Meskipun saudara-saudara mereka banyak yang bernasib buruk saat itu, tapi dengan adanya peristiwa itu maka mereka sekarang tak lagi mencium busuknya bau sampah. Lokasi kampung ini agak di belakang, jadi mereka tidak bisa ikut mengawasi proses buang membuang sampah di TPA. Tapi kalau mereka akan keluar kampung dan ke kota, mau tidak mau mereka harus melewati ratusan rumah pemulung yang membuat rumah seadanya di depan TPA. Pembuangan sampah terus berlangsung selama 24 jam, tidak ada jam tertentu. Makanya tidak heran sampahnya bisa sangat menggunung.

Katanya mau dikembalikan jadi TPA lagi?

Masyarakat di sini pastinya menolak mentah-mentah kebijakan ini. Mereka sampai mengumpulkan 10 ribu tanda tangan, tapi pemerintah tidak menggubrisnya. Belum ada solusi yang tepat setelah kejadian di tahun 2005 itu. Untuk membangun TPA lagi, katanya AMDAL telah dibuat dan telah ada design engineeringnya. Katanya sih yang membuat itu lulusan ITB. Kebijakan ini tiba-tiba dibuat tanpa mendengar masukan dari masyarakat asli sini. Sosialisasinya benar-benar di luar koordinasi dengan masyarakat. Yang di sampaikan ke atas hanya baik-baiknya saja, padahal secara fisik lokasi ini harusnya bukan menjadi TPA. Apalagi konsep yang akan digunakan dengan konsep Sanitary landfill, yaitu menimbun lagi sampah yang lama dengan tanah, lalu timbun lagi sampah yang baru. Ada isu kalau akan dibuat tempat pengolahan sampah juga, tapi masih belum jelas kabarnya.

Pak Asep, pemimpin yang patut jadi teladan

"Kalau memang benar, coba dulu di TPA Sarimukti, apakah berjalan atau tidak. Buat buktinya dulu," kata Pak Asep sangsi.

Ada tiga mata air yang tertutup akibat timbunan sampah. Akibatnya ada yang benar-benar jadi tidak keluar airnya, ada yang masih keluar, tapi ketika sampai di pemukiman air itu telah menjadi hitam. Kejadian longsor ini juga dapat dikaitkan dengan 2 hal yaitu pergerakan air di bawah tanah dan ledakan gas metan. Setiap musim kemarau, gunung-gunung sampah ini seperti kebakaran saja karena banyak metan-metan yang terperangkap lalu meledak ke luar. Sempat diteliti bahwa keadaan mata air di sini mulai membaik setelah beberapa tahun ini tidak difungsikan lagi menjadi TPA. Kalau melihat keadaan fisiknya, sampah-sampah itu sekarang telah menjadi lapangan hijau yang ditutupi rumput-rumput liar. Sekarang ular, bekicot, burung, dan tanaman mulai bermunculan, menandakan alamnya mulai bersahabat.

Meskipun pendidikan sekolah yang mereka cicip tidak sebanyak kami, tapi pengetahuan dan wawasan Pak Asep dan Kang Yana ini terbukti luas. Mereka bisa menyampaikan keluh kesah mereka dan bagaimana keadaan di sini secara ilmiah dan realistis. Masyarakat ini punya konsep kampung adat yang selalu diingat sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi 3, yaitu :
  1. Leuweung Larangan
  2. Leuweung Tutupan
  3. Leuweung Baladahan
Lewung larangan ini kalau dianalogikan di Bandung, jika Tangkuban Perahu dirusak maka efeknya akan ke bagian bawahnya, yaitu kota Bandung.

Yang sangat mereka sayangkan adalah, setelah kejadian longsor itu, media malah menyalahkan masyarakat yang menjadi korban

" Kesalahan ada pada penduduk kampung yang tinggal di atas tanah negara" ??

Hmm..

Sempat ada konsep penghutanan, tetapi rencana ini menghilang begitu saja begitu telah terjadi regenerasi pemerintahan. Pemerintah menghabiskan banyak uang untuk lingkungan. Tetapi seringkali pada pelaksanaannya tidak pas. Misalnya program menanam 1000 bibit pohon, tapi ditanamnya pada musim kemarau. Mereka mengharapkan kami sebagai mahasiswa ITB yang namanya dikenal dan diakui orang, melakukan sesuatu. Karena mereka yakin kalau ITB lebih didengar ketimbang mereka yang harus terus-terusan berkoar-koar.


Kampung Cireundeu

Nah banyak yang menarik nih di sini. Masyarakat Cierendeu adalah masyarakat asli di daerah ini. Yang perlu digarisbawahi adalah :

Mata pencaharian warga kampung Cirendeu adalah bertani dan beternak BUKAN sebagai pemulung

Jadi bohong kalau info yang tersebar adalah pengembalian TPA Leuwi Gajah akan memperbaiki perekonomian masyarakat sini. Memang benar sih, tapi bukan masyarakat asli yang dimaksud, tapi masyarakat pendatang yang memang sengaja ke lokasi ini sebagai pemulung.

Di sela-sela obrolan, kami disuguhi kue egg roll dan air putih.

"Mangga dicicip, ini dari singkong" kata Kang Yana.

Lebih enak dari egg roll yang dijual di supermarket!

Waaaaaaaaaaah kami langsung penasaran dan sekejap saja satu toples penuh kue itu habis. Saya berani jamin, semua yang mencoba egg roll dari singkong itu pasti ketagihan!
Yang istimewa dan menjadi spesialisasi kampung ini adalah tanam singkong nya. Singkong menjadi makanan pokok warga sini. Singkong bisa dijadikan nasi, tepung, kue, opak, lauk, lalapan, makanan ternak, dan banyak lagi. Dari akar sampai daunnya mereka gunakan. Singkong sudah menjadi hidup mereka.

Kue-kue kering dari tepung singkong

Opak, dari hasil perasan singkong yang kental

Tepung singkong

Nah singkong yang mereka tanam ternyata bukan jenis singkong yang enak dan bisa langsung dikonsumsi. Singkong ini harus diolah dulu. Pak Mubyar, dosen ITB pernah melakukan penelitian kalau singkong yang telah mereka olah telah hilang kadar racunnya. Teknologi yang mereka gunakan masih sederhana, dan industri ini masih kecil-kecilan. Tapi mereka dengan senang hati mau berbagi resep dan tips-tips mengolah singkong lho. Bahkan mereka mau kalau seandainya produksi makanan dari singkong ini kami terapkan dan kembangkan sendiri!

Ibu-ibu pengolah singkong jadi makanan enak

Pembuatan egg roll

Alat pengolah singkong

Membuat tepung singkong dengan alat ini

Dari segi waktu tanam, singkong tidak sesulit padi yang punya musim untuk tanam dan panen. Mereka bisa menanam dan memanen singkong kapanpun mereka mau. Mereka juga percaya kata orang dulu kalau yang wajib ditanam adalah : kelapa, pisang, dan bambu. Tidak heran kalau juga banyak kami temukan pisang dan bambu di desa ini.

Hasil fermentasi singkong

Ampas dari sisa perasan singkong, laku di pasaran dan terkenal sebagai "aci"

Usai mengobrol banyak dengan Pak Asep, kami diajak berjalan-jalan mengitari kampung dan melihat TPA. Kami ditunjukkan proses pengolahan singkong dan alat-alatnya. Saya sempat melihat bagan kepengurusan kampung ini. Waahaha lucu sekali melihatnya, sangat terstruktur!


Dan yang menarik, saya sempat lihat kalau tempat sampah mereka sudah terbagi 2 lho :
  • Sampah basah (dibuat kompos)
  • Sampah kering (dipilah untuk dijual, sisanya dibakar. Mereka mengaku belum paham metode yang pas untuk sampah)

Kami juga sempat mencicipi olahan singkong lain di rumah warga. Lalu setelah puas mendengar kisah singkong, kami menuju ke TPA. Sayangnya kami tidak bisa mencapai ke lokasi mata airnya karena Kang Yana sendiri kurang yakin apakah akses ke sana bisa dilewati sekarang ini atau tidak. Tapi dari atas sudah cukup terlihat dan terbayang peristiwa longsor di tahun 2005. Kami melihat dari atas bukit dan percaya kalau alam memang diciptakan sangat tangguh dan bersahabat. Tumpukan sampah yang menimpa warga waktu itu sekarang telah hijau dan asri. Meskipun masih ada sampah di beberapa titiknya.

Lihat padang hijau di sebelah sana? Itu tadinya rumah warga yang tertimbun sampah lho



Kami sempat mengambil jalan memutar, berjalan di atas tumpukan sampah yang sudah ditumbuhi ilalang. Lalu kami berdiri tepat di atas mata air. Di sebelah kanan kami masih ada gunung sampah, sisa longsoran. Dari kejauhan masih terlihat beberapa pemulung yang tetap kekeuh mencari uang dari hasil memulung sampah.

Berjalan di atas tumpukan sampah

Pemulung yang berjuang mendaki gunung sampah

Waktu dzuhur sudah lewat dan angkot kami sudah menunggu. Kami pamit pulang ke Pak Asep dan Kang Yana. Sepanjang perjalanan kami, kami tidak berhenti saling tukar pendapat.

Ayo putar otak! Karena dari cerita ini, ada banyak aspek bermanfaat yang bisa diberikan dan didapat, dari dan untuk kampung ini.