Selasa, 27 Desember 2011

Ajakan "bermain" di toko antik

Masih ingat posting saya tentang Papermoon Puppet Theater bulan januari lalu? Coba intip di sini untuk mengingat kembali. Pertunjukan ini yang menjadi pemicu kuat saya untuk jauh-jauh ke kota Jogja. Pemesanan tiket dilakukan jauh-jauh hari. Jadwal mainnya dari tanggal 15 sampai 22 Desember. Akhirnya setelah mengepaskan tanggal dan mendapat teman menonton, saya langsung keluarkan 120 ribu untuk 4 tiket dan berangkat ke stasiun membeli tiket kereta untuk tanggal 21 Desember.

Saya dicarikan tempat menginap oleh Mbak Mita yang tempatnya tidak jauh dari tempat "janjian" menonton. Kenapa janjian? Bukan langsung lokasi menontonnya? Nah ini dia nih yang asik. Sebelum sampai ke wisma tempat istirahat kami, kami sempat melewati Kedai Kebun Forum. Oh ini dia nih lokasi yang ditulis di bukti pembayaran tiket. Pertunjukan dimulainya pukul 8 malam, dan kami harus standby dari pukul 7.30. Sampai di Kedai Kebun, kami diminta menunggu, katanya nanti ada bis yang akan mengantar kami. Bis? Kami mau dibawa ke mana? Lagi-lagi saya dibuat penasaran ketika membaca-baca booklet yang dibagikan sambil menunggu. Saya baca bagian jajaran crew. Ada posisi pemandu wisata? Memangnya kita mau dibawa ke mana?

Kira-kira pukul 8 lebih sedikit rombongan yang menonton pukul 6 sore kembali ke Kedai Kebun. Kami dibagikan tanda untuk dikalungkan di leher, dan digiring ke bis mini. Wah! Saya sangat bersemangat! Mau dibawa ke mana ya? Akal-akalan sok tau saya berpikir akan dibawa ke tempat yang masih ada di gang yang sama, Tirtodipuran. Hanya ada sekitar belasan penonton 1 kloter. Kami semua dijejali masuk bis. Mas Wulang Sunu sebagai pemandu wisata bergelantung di pintu bis sambil mengoceh dengan toa di tangan kirinya. Ia bercerita tentang beberapa gedung yang kami lewati, tapi lebih banyak melawaknya. Saya dan rombongan lain dibuat tersenyum senyum geli.

Ini dia bis yang memboyong kami sampai tempat pementasan, dikendarai oleh Pak Sigit namanya

Mas pemandu wisata yang terus berceloteh sepanjang perjalanan

Setelah melewati pasar telo (telo itu ketela, sejenis singkong), bis diberhentikan di depan toko antik. Kami diajak untuk mampir membeli oleh-oleh. Rombongan disambut pemilik toko. Setelah melihat-lihat di bagian depan, kami diajak ke gudang bagian dalam. Sebelum masuk, kami diberi pesan untuk tidak mengambil foto, karena katanya barang-barang di situ adalah koleksi penting. Dan pintu pun dibuka. Di sisi kanan pintu tertata rapi sejumlah barang antik yang disusun bertumpukan. Si pemilik toko masih berceloteh dan mempersilakan kami duduk di kursi yang menghadap ke barang-barang itu. Tiba-tiba lampu mati. Si pemilik toko bersikap bingung dan pamit ke belakang untuk mengecek. Jantung saya berdebar-debar saking tidak sabarnya! Ini seru sekaliiii! :D

Suasana di bagian depan toko antik

Dan benar saja! Tiba-tiba lampu menyala dan boneka-boneka beserta pemainnya sudah ada di antara barang-barang antik itu. Alunan musik lawas mengiringinya.Kisahnya sederhana. Tentang kisah cinta seorang pemuda yang sempat kehilangan kewarganegaraannya paska peristiwa G30S PKI, karena mendapat kehormatan dikirim tugas belajar ke Rusia oleh Presiden Soekarno. Sebelum keberangkatannya ke Rusia, ia telah berjanji untuk menikahi kekasihnya di tanah air. Karena sedang berada di negara komunis saat peristiwa G30S PKI, paspornya dicabut oleh pemerintah orde baru. Selama 40 tahun ia tidak dapat menghubungi kekasih dan keluarganya. Selama itu pula ia tetap memegang teguh janjinya pada kekasihnya. Dan ternyata pria ini masih hidup hingga saat ini, Pak Wi namanya. Sedangkan wanita yang dulu kekasihnya saat ini telah berkeluarga dan memiliki 4 orang cucu. Mbak Ria, konseptor, artistic director, art director, sekaligus pemain ternyata berhasil bertemu dengan Pak Wi di dunia maya. Memang kehebatan teknologi zaman sekarang! :) Pria kelahiran 1940 ini sekarang masih tidak menikah, dan bekerjan sebagai salah satu ahli metalurgi di Playa, Havana, Kuba.

"Karena cinta itu masih ada..."

Dan ini dia pementasan "Setjangkir Kopi Dari Plaja"

Segalanya detail sekali. Boneka yang digunakan berjumlah 5 buah. Sepasang Pak Wi & kekasih di kala muda dan sepasang di kala tua. Satu lagi adalah pria yang akhirnya menikahi kekasih Pak Wi. Pemain boneka kali ini dalam tampilan beda. Di pementasan sebelumnya, kostumnya hitam-hitam, sehingga tidak masuk dalam cerita. Sedangkan kali ini beda. Pakaian yang dikenakan sesuai dengan temanya yang lawas, kemudian disesuaikan dengan kondisi boneka. Ketika sudah tua, pemain laki-laki ikut menggunakan kacamata, sedangkan pemain perempuan menggunakan slayer yang diikat di leher. Rasanya lebih menyatu.

Pak Wi dan kekasih di kala muda

Pak Wi dan kekasih di kala tua
Boneka kecil digunakan untuk menggambarkan isi ingatan. Ada adegan flash back di sana. Aaah detail sekaliii. Kemudian artistiknya saya suka sekali! Dalam hal ini tidak perlu berganti latar. Hanya berpindah posisi dan permainan lampu, maka kita akan terseret dalam lokasi yang berbeda. Contohnya saja ketika adegan bepergian, dilakukan di atas koper-koper tua yang bertumpuk. Dan semua barang itu tidak hanya sebagai pajangan saja. Semua digunakan. Bahkan lampu-lampu warna-warni yang ada di bagian atas yang tadinya saya pikir hanya sebagai pemanis, di satu adegan dapat diturunkan dan membawa penonton ke beda lokasi lagi! Setelah saya selidiki, menurunkan lampion-lampion ini adalah dengan cara sangat sederhana, yaitu dengan badan sepeda! Keinginan pementasan ini mengeksplorasi ruang saya acungi jempol. Selamat, kalian berhasiil! Aduh saya sampai kehabisan kata-kata. Dan cerita ini berhasil menyentuh saya. Membuat pandangan saya tidak lepas dari permainan ini. Ah keren sekali!

Boneka mini

Suasana panggung setelah pementasan

Usai menonton, semua penonton sempat berfoto-foto dan diwawancara oleh pihak Papermoon. Ada sajian wedang jahe dan gorengan juga di depan ruangan. Kami semua kembali ke bis dan diboyong lagi ke Kedai Kebun (meskipun si pemandu wisata sempat bilang kami akan dibawa ke tempat lain. Hahaha masih saja melawak). P
ementasan ini menyisakan banyak hal. Rasanya masih terasa sampai ketika saya menulis ini. Terima kasih untuk seluruh rangkaian pementasan ini! Mulai dari penjemputan, di dalam bis, toko antik, pementasan, dan pemulangannya, semuanya keren! :) Lagi-lagi salut untuk Papermoon!

Senin, 26 Desember 2011

Ketika Menari dilakukan di Tengah Pasar

Sebelum banyak mal dan pusat perbelanjaan berdiri dan buka tiap hari, pernahkah Anda berpikir bahwa kita belanja ke pasar sesuai hari pasaran (Jawa)? Belanja dan berkunjung ke pasar, dengan demikian tidak melulu kegiatan ekonomi bertahan hidup. Ia juga bagian dari keyakinan kita dalam melihat keselarasan gerak alam. (mengutip dari detail agenda acara Biennale XI)


Mengakhiri tahun 2011, saya berencana untuk kesekian kalinya ke kota favorit saya, Yogyakarta. Tujuan utamanya sebenarnya adalah menyaksikan pentas Papermoon Puppet Theater tanggal 21 Desember, tetapi ternyata selama di Jogja saya mendapat banyak bonus lebih!


Saya sudah tahu sebelumnya bahwa akan ada Festival Biennale Jogja XI yang masih berlangsung ketika saya sampai di Jogja, tetapi sayangnya kami minim informasi. Yang kami tahu hanya akan ada instalasi-instalasi yang dipasang di sejumlah lokasi di Jogja. Memang sudah berjodoh rupanya dengan acara ini. Ketika saya dan teman-teman asyik menunggu pementasan Papermoon di Kedai Kebun Forum, ada sejumlah pamflet dan brosur Biennale yang menarik perhatian kami. Kami langsung mengambil, mempelajarinya, dan membeli buku panduan festival ini seharga 5 ribu perak saja.

Dan acara ini menarik perhatian saya :

22 Desember 2011, pukul 07.00-10.00
Pasar dan Pasaran (umum dan gratis), Pasar Mangiran Bantul

Pertunjukan di tengah pasar? Menarik.

Esok paginya kami berangkat pukul 6.15 pagi dari wisma kami di Jalan Tirtodipuran. Tujuan kami Pasar Mangiran Bantul, sebelum pukul 07.00. Kami buta jalan. Berbekal tanya ke warga sekitar, akhirnya dengan harga ongkos 5000 perak kami menumpang bis Jogja-Bantul. Perjalanan cukup jauh ternyata. Semakin mendekati Bantul, yang kami lihat di kanan kiri jalan adalah sawah. Kenek bis yang kami naiki ternyata tau persis pertunjukan reyog yang akan tampil nanti. Tepat di depan Pasar Mangiran terdapat tenda besar yang dipasang di tengah lapangan.

"Pasar Mangiran!" kata kenek bis. Kami pun turun.

Setelah bertanya dengan warga setempat, kami mendapat informasi bahwa acara dimulai pukul 09.00. Hmm... kami kira kami akan terlambat.

Menunggu hingga pukul 09.00, kami memutuskan untuk berkeliling di Pasar Mangiran, sarapan sate sambil mengobrol dengan ibu-ibu penjual buah yang saya lupa namanya. Informasi yang saya dapat dari ibu ini, pertunjukan reog memang cukup sering dilakukan di desa ini. Wah, ini dia yang saya cari. Pertunjukan rakyat!

Pasar Mangiran hanya buka di hari-hari yang dianggap baik oleh masyarakat Jawa. Namanya hari pasaran, yang terdiri atas Hari Wage dan Pahing. Pertunjukan perkusi, jathilan, dan reog yang menjadi kebanggaan masyarakat Mangiran ditampilkan sebagai tanda syukur pada hari pasaran. Reog yang ditampilkan berbeda dengan reog yang sering kita lihat di Ponorogo. Bukan sisingaan, melainkan bentuknya mirip seperti wayang orang. Saya juga kurang paham mengapa disebutnya reog.

salah satu sudut Pasar Mangiran

Kenyang dengan sate lontong, bubur sum-sum, dan jamu tradisional, kami kembali ke lapangan pertunjukan. Penari-penari rupanya sudah mulai bersiap-siap. Iring-iringan perkusi sesekali berlatih sebelum turun ke jalan.

Pukul 09.00 tepat, penari-penari berkostum Butha (baca:butho) dan pemain perkusi mulai bergerak ke jalan, masuk ke pasar. Satu jam lamanya mereka menggerakkan badan seirama dengan perkusi. Seketika seluruh pandangan warga sekitar tertuju pada kekonyolan mereka, dibalik kostumnya yang menyeramkan. Saya pun beberapa kali tertawa dan tidak lelah mengikuti tingkah polah mereka. Di tengah teriknya matahari, mereka tetap asyik bergoyang. Di tengah pasar sesekali mereka mengambil buah jualan, lalu dimakan sendiri atau menyuapi teman-teman butha nya.




Kira-kira setelah 1 jam beraksi di dalam pasar dan jalan, pasukan ini kembali ke lapangan tenda. Tandanya pertunjukan reog akan dimulai. Sekeliling tenda telah dipenuhi masyarakat Desa Trimurti yang sudah tidak sabaran untuk menonton. Judul cerita reog yang akan dibawakan adalah "Lahirnya Gatotkaca".


Gerongan yang mengawali cerita

Pertunjukan ini bukan juga seperti drama-drama yang makan waktu lama. Diawali dengan iring-iringan musik sederhana dan meriah, masuklah 2 banjar tokoh-tokoh wayang orang dengan kostum lengkapnya. Gagah sekali.





Dan cerita pun dimulai. Tanpa dialog, hanya gerakan-gerakan yang menjadi simbolisasi tiap perkataan. Hanya saja kalau mau mengerti, kita perlu tahu pasti cerita dan tokoh-tokoh yang ada di kisah kelahiran Gatotkaca. Saya dan teman-teman hanya bisa menebak beberapa tokoh, dan sisanya kami kurang paham. Berawal dari Gatotkaca kecil yang masih dibawa oleh ibunya, kemudian mulai beranjak dewasa, berubah menjadi anak-anak berumur kira-kira 7 tahun. Gatotkaca kecil terlihat piawai dalam menari. Kemudian tumbuh lagi menjadi Gatotkaca dewasa yang akhirnya bisa mengalahkan si tokoh jahat.

Gatotkaca di waktu bayi

Gatotkaca cilik bertarung

Hingga dewasa masih tak terkalahkan

Cukup memakan waktu sekitar 1 jam, pertunjukan berakhir dan menyisakan kesan yang besar buat saya. Setelah usai pertunjukan, para pemain langsung meninggalkan arena. Sempat kami mencegat 2 pemain untuk berfoto bersama. Jam menunjukkan sekitar pukul 12 dan matahari semakin tinggi. Kami memutuskan untuk meninggalkan Bantul dan melanjutkan perjalanan kami. Terima kasih untuk sajian memukaunya! :)

Sabtu, 17 Desember 2011

Pasar Malam

Seumur-umur saya belum pernah ke pasar malam. Di dekat rumah saya sebenarnya ada, cuma saya selalu enggan untuk ke sana karena yang ada di bayangan saya adalah kurang aman.Padahal pasti menyenangkan dan banyak objek foto menarik.

Dan sekumpulan anak ITB pun membuat pasar malam. Tidak di bawah payung lembaga apa pun, bergerak independen. Tujuannya untuk mendukung UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Mereka memanfaatkan lahan kosong di bawah Jembatan Pasopati. Menarik! Memanfaatkan tanah lapang yang tidak terpakai dan mengambil lokasi di bawah jembatan sehingga kalau hujan pun tak jadi becek dan aman terlindungi.

Pasar dibuka dari pukul 3 sore dan pukul 11 malam mulai sepi. Saya datang dari pukul 8 malam. Ada 4 permainan yang bisa dinikmati, yaitu komidi putar, piring putar (saya tidak tahu istilahnya, karousel, dan kereta-keretaan. Setiap permainan harus merogoh kocek sejumlah Rp 5000,00. Cukup mahal, mungkin karena pelanggannya adalah mahasiswa, bukan pasar malam biasanya. Atau memang harganya standarnya segitu? Tetapi hitung-hitung membantu usaha kecil, saya sih tidak masalah. Toh seru juga ternyata. Adik-adik dari penduduk sekitar pun mendapat kesempatan unjuk kebolehan. Ada yang break dance, jaipongan, sampai menari korea. Menarik! Lain kali saya akan coba ke pasar malam yang sebenarnya.








Kamis, 15 Desember 2011

Biogas di Kampung Cibodas

Akhirnya hari ini adalah UAS terakhir! :) Setelah UAS memang sudah berencana untuk survey ke Kampung Cibodas yang konon katanya sudah berkembang pemanfaatan biogasnya. Untuk apa? Jadi ceritanya saya dan teman-teman U-Green mau jalan-jalan sambil belajar :) nah hari ini saya, Wisnu, Icha, Rizky, dan Icha main-main survey ke sana.

Yang ada di otak saya pertama kali mendengar Cibodas adalah di Bogor. Eits ternyata "Kampung Cibodas" namanya, yang letaknya di Lembang. Kami berlima naik mobil sedan milik Rizky.

Rani : "Cung, yakin nih ke sana pake sedan?"
Alin : "Lah ini mobilnya Cungut sedan"
Cungut : "Iya iya bisa kok"
Rani : "ok"

Perjalanan cukup jauh juga. Kami berangkat pukul 15.00 dan sampai pukul 16.30. Melewati Dago Giri, lalu teruuuss naiiik turuuuun dan jalanan masih "mulus". Dua kali kami ditarik bayaran ketika masuk ke beda desa. Seribu rupiah saja ditukar dengan selembar tiket yang tidak tahu untuk apa. Serunya ketika sudah dekat pemandangan mulai hijau semua. Kami melintas di antara hutan dan tebing.

Daan ketika akan masuk ke belokan Kampung Cibodas, ada sedikit undakan daaaan....


ZROOOK! Suara keras dari bagian bawah mobil.

Akhirnya kami turun dulu dari mobil, dan setelah mobil berhasil melewati undakan itu, kami pun naik lagi. Jalanan menuju ke dalam sedang dalam perbaikan, jadi hanya ada satu jalur dengan kondisi jalan yang berbatu. Hampir tiap kali bagian bawah mobil berbenturan dengan jalan. Dan akhirnyaaa setelah agak menahan nafas, kami sampai di jalan mulus lagi. Kami berhenti sebentar untuk shalat ashar.


Setelah shalat kami memutuskan untuk berjalan kaki saja dengan meninggalkan mobil di depan gang masjid. Kami ditunjukan salah satu tempat biogas oleh bapak-bapak yang sedang membawa susu, Pak Asep namanya. Lokasi pertama letaknya di dalam gang. Kondisinya tidak terlalu bersih. Ada kandang sapi yang berimpitan dengan rumah warga. Kotorannya berceceran di mana-mana. Sistem kerja biogasnya sama dengan lokasi kedua, akan saya jelaskan lebih lanjut lagi.


Keadaan kandang sapi, yang meluber di bawah itu adalah kotoran sapi


kandang sapi diapit rumah warga

Pemanfaatan biogas di kompor


Pak Asep memberi rekomendasi untuk melihat biogas yang lebih baik di rumah Pak X (saya lupa namanya). Tetapi ketika kami kesana, tampaknya tidak ada orang. Kemudian kami memutuskan untuk bertemu dengan Pak RT, namanya Pak Maman.

Pak Maman katanya sedang nonton sisingaan. Wah saya jadi tertarik! Sambil berencana menemui Pak Maman, saya mau lihat sisingaan itu seperti apa.


Yang diangkat adalah berbagai macam, dari kursi, tangga, samapai motor!
Dan yang menahan di bawahnya adalah seorang Ibu-Ibu dengan kakinya saja!


Sedang ada hajatan khitanan di sini. Awalnya kami enggan mencari dan memanggil Pak RT, tetapi setelah kami dibantu bapak hansip, Pak Maman dapat ditarik keluar untuk bercerita. Mengetahui maksud kami ingin menanyakan biogas, Pak Maman memanggil seseorang yang katanya paling mengerti, namanya Pak Anif. Kami pun diajak berkunjung ke kediamannya. Ternyata sistem biogas dan peternakannya sedikit lebih rapi dibanding yang tadi.

Penggunaan biogas di Kampung Cibodas telah dilakukan oleh 17 rumah. Mata pencaharian sebagian besar warga di sini (90%) sebagai peternak menjadi alasan kuat penggunaan teknologi ini. Hanya saja memang dibutuhkan biaya yang cukup mahal. Penggunaan biogas telah berlangsung selama 2 tahun. Pak Anif yang memulainya, dengan berawal dari menggunakan bahan gentong plastik hingga sekarang sudah 7 bulan menggunakan yang berbahan beton. Adanya teknologi ini rupanya mendapat subsidi dari Belanda. Pemasangan satu unit biogas seharga 6 juta, dan disubsidi 2 juta rupiah, Sehingga mereka harus membayar 4 juta. Pembayaran dengan kredit ke koperasi susu yang memotong uang susu 75 ribu rupiah per 15 hari. Selain itu pemilik biogas harus mempunyai peternakan sendiri, dan memiliki lahan cukup tentunya. Setiap hari dapat menghabiskan 3 kg kotoran sapi untuk satu hari pemakaian.


Suasana kandang Pak Anif

Jadi begini prosesnya :
  • Kotoran sapi yang dikumpulkan dimasukan ke dalam beton yang berbentuk seperti sumur. Kemudian diberikan air dan diaduk.
  • Kotoran akan turun ke bagian bawah yang berfungsi sebagai reaktor, yang diameternya 3 meter dan tingginya 1.8
  • Pengeluaran gas akan mengakibatkan padatan kotoran semakin turun
  • Gas yang akan digunakan disalurkan ke rumah melalui pipa
  • Sisa-sisa ampas dikumpulkan ke sebuah kolam untuk digunakan sebagai pupuk cair
  • Ampas keringnya dikumpulkan dan ditimbun
  • Ampas dikeringkan, dijadikan kompos

Tanah coklat itu adalah timbunan kotoran. Yang dipindahkan secara manual dari kolam kotak tadi

Hasil pupuk, teksturnya kering


Tidak ada buangan yang dihasilkan proses ini. Hanya saja pemanfaatan ampas biogas sebagai pupuk belum dilakukan oleh seluruh warga. Beberapa masih membuangnya di aliran sungai. Pemanfaatan ampas sebagai pupuk dilakukan atas inisiatif warga sendiri.

Kami sempat melihat pemanfaatan biogas di rumah Pak Anif. Ada yang untuk kompor dan lampu. tetapi lampu harus diberi pacuan dengan pemantik api.

Pipa biogas yang mengalir ke rumah

Meteran biogas . Lihat cairan merah di dalamnya.
Ketika bagian kanan sudah menunjukan angka di bawah, maka biogas yang ada kurang.


Lampu dengan api, terdapat bahan kasa yang disulut api terlebih dahulu


Hari sudah akan gelap, kami memutuskan pamit dan membuat janji untuk kunjungan (InsyaAllah) pada bulan Januari. Wah tempat ini mandiri sekali! Perekonomian bersandar pada produksi lokal susu dan memanfaatkan buangan dengan menjadi bahan bakar dan penyubur tanaman. Salut! :)

Ayoo liat siniiii *cekrik


Rabu, 14 Desember 2011

aksi di siang bolong

Bandung, 14 Desember 2011 pukul 13.30

Siang ini setelah mengerjakan soal ujian dan menyelesaikan beberapa urusan saya, tadinya saya mau langsung kembali ke kosan. Di tengah jalan saya bertemu teman saya dan dia bilang sedang ada demo di depan gerbang kampus dan katanya mengajak mahasiswa ITB untuk keluar. Detailnya tidak sempat diceritakan.


Saya sempatkan menengok sebentar ke depan, dan benar saja. Keadaan di luar sangat ricuh. Berbagai mahasiswa dari kampus-kampus di Bandung melakukan aksi. Semua mengenakan jaket almamater kampus masing-masing. Saya berhenti di pos satpam, tidak terlalu dekat tetapi saya bisa lihat jelas. Tepat ketika saya sampai beberapa mahasiswa ini membagikan selebaran kuning. Judulnya suara mahasiswa. Dan saya baru agak mengerti. Judul selebaran bolak-balik ini adalah SUARA MAHASISWA. Halaman satu judulnya "MAHASISWA TERBAKAR dan TERBAKARNYA MAHASISWA" dan halaman 2 adalah "BANGKIT DAN BERILAH PERINGATAN". (maaf kalau terkesan tidak santai pakai capslock, tapi memang tercetak demikian. hehe) Ya melihat judulnya pasti teman-teman sudah bisa bayangkan apa isinya. Mengingatkan lagi pada peristiwa mahasiswa yang bakar diri.

Mereka riuh. Ada juga yang menampilkan teatrikal (saya asumsikan mungkin karakternya sebagai rakyat Indonesia) yang menggunakan pakaian compang-camping, kotor, dan saling seret satu sama lain. Sempat mereka turunkan Bendera Indonesia di depan gerbang! Ini sempat bikin saya agak panas. Tapi ternyata mereka menurunkan setengah tiang, mungkin maksudnya untuk berkabung. Lalu perwakilan dari mereka bicara dengan toa. Intinya tentang "Ke mana mahasiswa ITB?". Dan alumni-alumni kami pun sempat disinggung. Katanya hanya jadi kaum intelektual yang merusak bangsa. Seruan making kencang dan mungkin berharap ada mahasiswa ITB yang keluar, tetapi belum juga. Lalu mereka pun berlarian masuk dan ditahan oleh satpam-satpam ITB.

sempat berlarian masuk secara paksa

Entah apa yang membuat mereka berhenti, lalu mereka mundur dan duduk melingkar di tengah jalan Ganesa (yang membuat lalu lintas terhambat). Presiden KM ITB, Tizar Bijaksana pun angkat bicara. Isinya mengajak untuk berdiskusi, duduk bersama. Saat itu saya agak lega dan mendekat agar lebih terdengar isi orasinya.




Dari tokoh teatrikal rakyat tiba-tiba berteriak sambil masih dalam posisi merayap dan menatap mahasiswa ITB yang ada di situ. Mereka bilang :


BOHONG !

KALIAN SAMPAH PENDIDIKAN !

Itu yang masih saya ingat. Sampah pendidikan?

.....

Tetap berteriak, lalu tiba-tiba menerobos masuk lingkaran dan mengeluarkan semua kalimat pesimis. Lalu orasi dilanjutkan oleh perwakilan universitas lain. Dia singgung tentang kasus Sondang Hutagalung, yang membakar dirinya di depan istana negara. Saya tidak terlalu fokus lagi mendengarkan. Ya, saya dapat poinnya. Lalu setelah cukup lama mendengarkan, saya pun memutuskan pulang. Sampai di kosan, saya mendapat kabar lagi dari teman saya. Katanya masih berlangsung juga dan sikapnya saya nilai sangat tidak beretika. Mereka menyerahkan (maaf) pembalut dan celana dalam, serta meninggalkan kampus ITB sambil mengacungkan jari tengah.


Apakah begini sikap orang yang katanya membela rakyat? Saya ambil positifnya, mungkin untuk introspeksi diri saja. Sebagai mahasiswa mungkin saya memang belum berbuat apa-apa dan seharusnya adalah sebagai agen perubahan. Tapi apakah segala sesuatu harus diselesaikan secara anarkis? Apakah tidak bisa berkumpul, duduk bersama, berdiskusi, dan kita buat saja pergerakan yang nyata? Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya mengeluarkan isi kepala saya setelah melihat kejadian tadi. Saya yakin karakter asli orang Indonesia tidak seperti itu. Budaya kita tidak begitu.

Kembali lagi, yuk ambil positifnya! Ternyata memang realitanya banyak harapan yang digantungkan sebagian besar orang ke mahasiswa. Saya juga bukan apa-apa. Saya belum memberikan apa-apa untuk bangsa ini.

Buka mata sama-sama, berpikir, bergerak. :)


*) Saya hanya menceritakan apa yang saya lihat dan memberikan sedikit saja pandangan saya. Maaf kalau ada pihak yang tersinggung membaca ini. Kalau ada yang salah saya sangat senang kalau ada koreksi :)

Selasa, 13 Desember 2011

(bukan) TPA Bantar Gebang

Well, it's supposed to be the scientific one, but let's make it fun! :D

Ok, setelah sudah ke 'bekas' kerajaan sampah di Leuwi Gajah yang lalu dan sempat juga menemani mahasiswa MIT ke Sarimukti (tapi belum sempat saya ceritakan ya yang ini), saya dan teman-teman sejurusan akhirnya dapat kesempatan berkunjung ke Bantar Gebang! Oh ya, sebelum saya bercerita lebih jauh, sejujurrnya nanti jam 12.15 siang saya ada UAS mata kuliah pengelolaan sampah yang (mungkin) salah satu soalnya adalah tentang kunjungan lapangan ini. Jadi, daripada saya hanya membaca-baca laporan yang kelompok saya buat, lebih baik saya cerita hasil catatan dan dokumentasi saya :) Sebenarnya sudah mau segera menulis ini tapi selalu tertunda, jadi sekalian bantu saya belajar ya!


Jumat, 18 November 2011 lalu, saya dan teman-teman angkatan Teknik Lingkungan 2009 melakukan kunjungan lapangan ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Bukan lagi TPA (Tempat Pembuangan Akhir) lho ya. Kenapa berubah menjadi TPST? Nah ini dia yang menarik. Untuk saat ini TPST Bantar Gebang adalah TPST terbesar dengan sistem pengelolaan sampah terbaik se-Indonesia lho. Luasnya saja mencapai 110,3 hektar!

Kami berangkat menggunakan bus dari gerbang depan kampus ITB pukul 07.00 dan sampai ke Bekasi sekitar pukul 10.00. Meskipun katanya sistem pengelolaannya sudah baik, hmm yang namanya gunungan sampah ya pasti kurang sedap baunya. Kami sudah siap amunisi dengan membawa masker. Begitu keluar bus, saya langsung disambut wangi sampah yang aduhai dan teriknya matahari.

Sebelum melihat ke lapangan, kami diberikan pengantar oleh Bapak Batara Erwin Sinaga sebagai manajer 2 dan Bapak Ir. Douglas Jiwanurung sebagai managing director. Beliau-beliau ini adalah orang-orang yang memegang peran cukup penting dalam sistem birokrasi TPST Bantar Gebang. Pengelolaan TPST Bantar Gebang ini dipegang oleh pihak swasta yang terikat kontrak dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yaitu PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia.


Sejarah (sangat) singkat

TPA Bantar Gebang mulai aktif pada tahun 1989. Pada saat itu sampah yang masuk adalah 5000-6000 ton/ hari. Pada saat itu lahannya adalah seluas 108 hektar. Hampir selama 20 tahun, sistem pengelolaan sampah hanya dengan open dumping dan sanitary landfill.

Sanitary landfill : Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan menyebarkan sampah secara lapis-perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup (G.H. Tchobanoglous, H. Theissen, 1993)

Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan (Enri Damanhuri, 2010)

Kemudian Pemrov DKI Jakarta membuka tender untuk pengelolaan TPA ini, dan akhirnya pada Desember 2008 dimenangkan oleh kedua perusahaan tersebut di atas.


Tentang TPST Bantar Gebang

TPST Bantar Gebang yang memiliki luas total daerah 110,3 Ha ini terletak di Kota Bekasi. Posisi TPST dikelilingi oleh 4 kelurahan, yaitu Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu, dan Kelurahan Ciketing Udik.


Visi dari pengelolaan TPST Bantar Gebang ini adalah sebagai pusat studi persampahan dan alternatif pariwisata. Saat ini luasnya mencapai 110 hektar, dan akan mengalami penambahan 10,5 hektar untuk tempat pengolahan. TPST terbagi menjadi 5 zona.

Pembagian 5 zona

Truk yang masuk ke dalam TPST ini kurang lebih 1000 truk/hari. Biaya yang didapatkan kedua perusahaan ini seharunya adalah Rp 230.000,00/ ton, sedangkan untuk community development kota Bekasi dipotong 20% sehingga hanya dibayarkan Rp105.300,00/ton. Sebelum truk masuk ke arena TPST, dilakukan penimbangan terlebih dahulu di jembatan timbang yang pengawasannya bertanggung jawab ke Dinas Kebersihan.

Sejumlah 53% dari jumlah sampah di TPST ini telah menjadi kompos. Sampah yang diakui cukup mendominasi adalah sampah-sampah plastik! Saya percaya betul setelah melihat dengan mata kepala sendiri.

Nah, intinya TPST ini dibagi menjadi 4 bagian pengelolaan sampah :
  1. Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)
  2. Unit Composting
  3. Sanitary Landfill
  4. Power Plant
Setelah mendengar cerita yang cukup panjang, kami melakukan santap siang dan shalat jumat bagi yang laki-laki. Kemudian tibalah saatnya melihat ke lapangan!


Instalasi Pengolahan Air Sampah (IPAS)

Lindi (Leachate) adalah cairan yang merembes melalui tumpukan sampah dengan membawa materi terlarut atau tersuspensi terutama hasil proses dekomposisi materi sampah atau dapat pula didefinisikan sebagai limbah cair yang timbul akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan dan membilas materi terlarut, termasuk juga materi organik hasil proses dekomposisi biologis.(Enri Damanhuri, 2010)

Pernah memperhatikan air hitam yang keluar dari tumpukan sampah? Nah itulah air lindi. Bisa dibayangkan kan, air hasil ekstraksi sampah kandungannya pasti tidak karuan. Maka dari itu perlu dilakukan pengolahan airnya agar aman dibuang ke badan air.

Ini adalah lokasi yang paling menusuk baunya. Masker pun tidak terlalu membantu. Bahkan mata saya sangat pedih ketika berada di sini. Singkatnya, ini bagian-bagian yang ada di IPAS :
  • Kolam Equalisasi
  • Kolam Fakultatif
  • RBD ( Rotating Biological Denitrification)
  • Kolam Aerob
  • Ruang Proses Kimia
  • Bak Pengandap
  • Polishing Pond
  • Kolam Lumpur
IPAS (tampak dari kejauhan)


Hasil akhir airnya jangan bayangkan akan jernih. Ternyata di bak terakhir pun keluarannya akan tetap berwarna hitam. Hanya saja kandungannya katanya sih sudah tidak berbahaya lagi dan memenuhi standar air baku. Kalau teman-teman buka di PP 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, air ini masuk dalam kelas 4. Lumpur yang dihasilkan dari proses ini dibuang ke landfill.

Aargh masker saya sekarang jadi dilekati bau lindi! Dan saya masih kagum dengan dosen saya Ibu Tri Padmi dan Pak Wahyu yang sama sekali tidak terlihat terganggu dengan "wangi" ini.


Unit Composting

Di lokasi ini kami membutuhkan masker bukan karena baunya, tetapi karena sangat berdebu. Untung saya juga gunakan kacamata saya karena kalau tidak bisa kelilipan. Sampah yang masuk ke proses ini adalah 500 ton/hari dan 15-20% nya berhasil menjadi pupuk. Sayangnya sampah yang melewati proses ini hanya sampah dari lokasi-lokasi terpilih, yaitu pasar tradisional seperti pasar Kramat Jati, Jembatan Lima, Cibubur, dll.

Prosesnya adalah :

Sampah disortir secara manual dilihat dari ukuran sampah. Kemudian dimasukan ke conveyor pemilah. Lalu dihancurkan di penghancur. Kemudian di conveyor feeder terpisahkan sampah yang bisa menjadi kompos dan tidak. Sampah yang tidak bisa masuk dalam proses composting di press untuk dijadikan briket.


Yang diambil adalah yang bubuk (bagian depan)

Kompos yang dihasilkan berbentuk bubuk. Tetapi dilakukan proses lagi agar dijadikan bentuk butiran. P
ara petani katanya masih belum percaya dengan pupuk berbentuk serbuk. Alasannya karena menempel di daun, mudah terbang, dan terapung di air. Proses pembuatan pupuk butiran (granule) adalah dengan penambahan 15-20% percikan air, kemudian setelah panas mencapai 65 derajat diberikan mikroba lagi (karena pada suhu ini beberapa mikroba mati). Total lama proses awal hingga akhir adalah 1,5 bulan hingga kompos siap jual. Biasanya pasarnya adalah sampai ke Pulau Sumatera.

Pupuk dalam butiran

Obrolan belum selesai, tetapi rombongan yang antusias mendengarkan semakin sedikit. Wah ternyata teman-teman lain sudah di bis duluan! Kami langsung bergegas pamit.


Power Plant


Sebagian besar timbunan sampah di TPST Bantar Gebang ditutup dan dipasang pipa di atasnya. Tujuannya adalah untuk menangkap gas metan yang dihasilkan oleh sampah. Proses degradasi anaerob (tanpa oksigen) akan menghasilkan gas metan. Gas metan ini kemudian dialirkan ke mesin untuk perolehan listrik. Saat ini TPST Bantar Gebang telah menghasilkan listrik 1220 - 2000 kW! Di Indonesia, hanya Bantar Gebang dan Bali yang sudah memiliki alat-alat ini.

Yang tertutup di bawahnya adalah sampah dan pipa-pipa tersebut adalah untuk mengalirkan gas metan

Ruang mesin

Ruang kontrol

Di bagian ini kami tidak punya waktu banyak untuk mendapat penjelasan. Mesin-mesin yang bunyinya sangat bising cukup mengganggu kami. Tetapi cukup nyaman karena dilengkapi pendingin ruangan. Sempat saya bertanya apakah petugas menggunakan penutup kuping ketika sedang bekerja? Dan jawabannya tidak. Hmm bahaya sekali ya... Dan petugas-petugas ini pun kebanyakan tidak berseragam.
- - - - -

Setelah ini kami meluncur ke TPA Sumur Batu, yaitu TPA yang melayani sampah warga Kota Bekasi. Letaknya tidak jauh dari sini. Ceritanya berbeda lagi tapi, saya bahas di postingan lain ya :D Membaca yang ini saja sudah banyaaak. Hehe

Nah, sekarang cukup terbayang kan kalau proses pengelolaan sampah itu rumit dan pastinya BUTUH BIAYA BESAR. Faktanya, banyak yang masih menyepelekan persoalan ini. Banyak pihak yang masih juga tidak mau bayar soal pengelolaan buangannya. Padahal di Amerika katanya pembayaran untuk waste to energy adalah 23-35 USD/ton. Masih banyak orang yang merasa kalau soal sampah buat apa bayar?

Sekarang sudah (atau hanya?) 4 TPA di Indonesia yang sedang dalam proses kelayakan teknis yang dilaksanakan oleh calon investor masing-masing untuk mendapatkan sertifikat emisi karbon dari PBB, yaitu (Dikatat Pengelolaan sampah, 2010):
  • TPA Suwung di Denpasar: status potensinya telah terdaftar pada badan dunia (UN-FCCC No.0938), sehingga menunggu persetujuan metodologi dan verivikasi untuk mendapatkan sertifikat
  • TPA Pontianak, TPA Kota Bekasi dan TPA Palembang: potensinya sedang dalam proses verifikasi
Semoga diikuti kota-kota lain juga ya. Kita tidak mau kan Indonesia jadi lautan sampah? Hiii (membayangkan film Wall-E)

Oh iya, saya menemukan ada tukang jualan di sini. Hii bisa-bisanya ada yang mau beli di tengah-tengah gunungan sampah ini.

Pak.. mbok ya jangan jualan di sini ya..