Kamis, 27 Desember 2012

Jelajah Kawasan Karst Citatah, Padalarang

Bandung, 9 September 2012

Sudah tercatat di agenda saya dari jauh hari sebelumnya. Geotrek adalah bentuk kegiatan jalan-jalan sambil memperkenalkan sudut pandang geologi, yang diselenggarakan oleh mahasiswa teknik geologi ITB. Setelah dua kali gagal ikut kegiatan ini, akhirnya kali ini kesampaian juga. Dan beruntunglah saya karena edisi kali ini adalah tepatnya di lokasi yang memang sudah saya rencanakan akan berpetualang ke sini selama saya masih kuliah di Bandung!

Dengan setelan  kaus lengan panjang, celana jeans yang nyaman, kain tutup kepala, sepatu bertali, dan ransel hitam yang lengkap dengan segala perbekalan, saya pun meluncur ke monumen kubus, di depan Taman Ganesha. Padatnya kegiatan sehari sebelumnya tidak menghalangsi saya bangun pagi-pagi sekali. Saya menuju spot pemberangkatan dan pengumpulan peserta tersebut tepat pukul 6.30. Sepertinya masih cukup sepi. Setelah ngobrol ngalor ngidul dengan peserta lain yang adalah masih teman-teman ITB juga, akhirnya acara dibuka.

Pak Budi Brahmantyo

Setelah sering mendengar cerita seru tentang beliau, membaca buku Wisata Cekungan Bandung, dan beberapa artikel di blognya, akhirnya saya bisa mendengarnya berbagi ilmunya secara langsung! Pak Budi adalah dosen sekaligus kepala program studi Geologi ITB yang terkenal aktif di dunia pergeologian. Salah satu ketertarikan terbesar saya mengikuti Geotrek ini adalah salah satunya karena kehadiran Pak Budi sebagai "pendongeng" kami. Ya memang pada dasarnya saya senang berjalan-jalan ke lokasi dengan bumbu cerita, sejarah, dan budaya di dalamnya. :)


Kami akan mengunjungi deretan Karst Citatah. Sebelumnya saya mengenal tempat ini sebagai salah satu alternatif tempat untuk melakukan olahraga panjat tebing. Nah, saat ini saya akan ikut belajar mengenai asal usulnya dan dari kacamata para geologis!

Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression),drainase permukaan, dan gua. Daerah ini dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping. (Wikipedia Indonesia)

Ya, sebagian besar batuan di wilayah ini adalah batuan gamping, atau lebih familiar disebut dengan batuan kapur. Kami melewati deretan pabrik batu gamping untuk bahan baku cat tembok sampai bahan pasta gigi.

Deretan bukit batuan ini disebut Formasi Raja Mandala yang jalurnya hingga Pelabuhan Ratu dan Formasi Citarum. Seperti cerita sejarah zaman dahulu bahwa wilayah Bandung sebelumnya adalah sebuah danau, nah begitu pula dengan wilayah ini. Namun bukan saja danau, tetapi lautan sedalam 30 meter! Kondisi itu terjadi pada 20-30 juta tahun yang lalu. Maka selayang pandang kami saat itu adalah deretan tetumbu karang pada zamannya.


Gunung Hawu

Natural brigde atau yang lebih beken dengan sebutan Gunung Hawu ini adalah bentuk tebing batuan dengan lubang besar di tengahnya. Mengapa hawu? Hawu dalam bahasa Sunda artinya adalah tungku. Disebut hawu karena bentuknya yang menyerupai tungku.Lubang tersebut terbentuk terbentuk jutaan tahun lamanya, akibat hujan asam dengan pH 4 yang mengakibatkan proses karstifikasi. Karena bentuk reaksi kimia di dalamnya, maka terjadi pelarutan secara vertikal di dalamnya yang mengakibatkan runtuhnya bagian tengah, dan membentuk seperti jembatan di bagian atas.


Gunung Hawu
Di titik ini Pak Budi memberikan sedikit demonstrasi pembuatan sketsa pegunungan batuan ala geologis sambil menjelaskan beberapa detil yang harus dipenuhi dalam membuat sebuah sketsa. Hal-hal yang perlu dilakukan adalah seperti pengukuran kemiringan bidang dengan kompas, bagaimana mengambil sudut pandang, hingga pentingnya kontrol proporsi vertikal dan horizontal yang biasanya menggunakan pensil sebagai media bantu. Sketsa dalam geologi sangat penting karena di situ terdapat proses berpikir, katanya. 


Pak Budi asyik membuat sketsa
Kemudian kami berjalan naik lagi dan mengitari "lubang" itu dari sisi belakang. Di sini kami beristirahat dan diberi kesempatan untuk membuat sketsa yang nantinya akan dilombakan antar peserta oleh panitia. Dengan mulut penuh kunyahan kue, saya mulai sok tahu corat-coret menggambar salah satu tebing di hadapan saya. Panas terik matahari benar-benar sampai ke ubun-ubun! Namun energi kami tetap terisi penuh.


Menuju Pasir Pawon

Gua Pabeasan

Setelah melewati turunan tajam dengan berpegangan pada tali, sampai juga ke destinasi berikutnya, Gua Pabeasan. Pabeasan dalam bahasa sunda artinya tempat beras. Di dalam gua ini sempat terjadi gempa pada tahun 1910. Hal ini diduga menjadi penyebab jatuhnya batu-batu besar, yang menjadikan asal muasal gua terbentuk. Ada lubang baru tepat di atas kami yang menurut cerita dari Pak Budi, pada tahun 2002 belum ada. Wah pada saat itu saya agak deg-degan karena kalau-kalau terjadi gempa ketika posisi kami sedang berada di dalam situ, tewas tertiban batu-batu besar lah kami. Dari Pak Budi, saya jadi tahu kalau ilmu yang secara khusus menelusuri gua adalah speleologi. Dari analogi bahwa orang zaman dahulu tinggal di dalam gua, maka akhirnya ditemukan pula Gua Pawon, destinasi kami selanjutnya.


Pintu masuk Gua Pabeasan

Stone Garden

Tepat pukul 12 siang, kami digiring ke Taman Batu. Seperti namanya, sejauh mana memandang, kami bisa melihat hamparan batuan yang tersusun tidak beraturan namun tampak apik. Lokasinya terletak di Pasir Pawon. Pasir di sini maksudnya adalah bukit. Dari bukit ini kami diajak untuk melihat sebentar dari lereng pasir pawon. Kami diajak untuk melihat Gunung Masigit. Di sana adalah tempat masyarakat sekitar sini menggali bebatuan. Fakta menyedihkan bahwa mereka hanya dibayar 30 ribu rupiah saja tanpa jaminan keselamatan!

Kami diberi waktu lagi sebentar untuk mengitari Stone Garden yang sangat luas ini. Pergilah ke salah satu sudutnya, maka kita akan menemukan batu yang susunannya menyerupai gerbang. Oleh orang-orang setempat konon dipercaya sebagai gerbang menuju alam gaib. Kemudian ada lagi julukan untuk batu lainnya, yaitu batu mesra, karena 2 buah batu ini saling bersenderan. Hehehe.


Stone Garden

"Gerbang"

Tekstur batuan yang seperti karang. Bukti otentik bahwa wilayah ini dulunya adalah dasar lautan !
Hampir di puncak Pasir Pawon, terdapat sebuah makam. Batu di sekelilingnya membentuk pola melingkar. Kami berspekulasi bahwa lokasi ini digunakan untuk semacam ritual. Batu-batu yang tampak bukan dari bukit ini mungkin sengaja dibawa untuk pemenuhan sebuah ritual.

Nah, makam ini diidentifikasikan sebagai makam seorang muslim, dikarenakan arahnya yang menghadap ke barat, yaitu arah kiblat. Tetapi ada fakta menarik lagi bahwa selidik punya selidik kabarnya ini adalah makam kosong! Kisahnya berawal dari seorang ibu-ibu dari Cianjur yang datang ke tempat ini dan merasa mendapat bisikan. Bisikan itu kemudian direspon dengan ritual yang berhasil membuat ibu itu menjadi kaya. Maka dibuatkan nisan karena diduga lokasi tersebut dihuni oleh leluhur sakti.

"Semua tempat yang memiliki nilai gaib pasti bisa dirasakan oleh semuanya ", kata Pak Budi. Maka mungkin sejak zaman dahulu daerah makam ini mempunyai nilai gaib.


Gua Pawon


Kami semua menuruni bukit dengan dipandu Pak Budi yang mencari akses jalan untuk kami semua. Namanya bukit putus asa. Menuruninya cukup bikin lutut gemetar, untung tidak naik lewat sini! Hehehe. Setelah beristirahat sekitar satu jam lamanya, kami lanjutkan perjalanan kami ke Gua Pawon, yang posisinya persis di samping tempat beristirahat kami.

Pak Budi adalah salah satu pencetak sejarah di Gua Pawon ini, sebagai anggota tim penemu fosil manusia zaman prasejarah! Kisahnya adalah pada tahun 1999, tim Pak Budi berencana mengunjungi lokasi ini untuk mencari fosil ikan. Kali pertama masuk ke dalam gua, mereka langsung disambut oleh hujan tai kelelawar. Di dalam Gua Pawon sendiri terbagi dalam tujuh kamar. Untuk memudahkan pemetaan, setiap kamar diberi julukan masing-masing. Dalam penggalian dalam gua tersebut ditemukan artefak dan alat-alat tulang lainnya yang langsung dilaporkan ke balai arkeologi. Namun respon dari balai tersebut sangat lambat.

Akhirnya dibentuklah kelompok riset cekungan bandung, beranggotakan Pak Budi, Pak Eko, dan Pak Bakhtiar. Tahun 2003 balai arkeologi pun memutuskan untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Dalam penelitian tersebut ditemukannlah rangka utuh homo sampiens, pada tahun 2005. Diduga usianya sudah mencapai 500-1500 tahun, ras mongoloid dan berjenis kelamin wanita.


Fosil homo sapiens. Ini adalah bentuk replika yang diletakkan di dalam gua. Fosil asli dilindungi oleh badan arkeologi
Hal terakhir yang digali adalah gigi ikan hiu! Dari penemuan tersebut dibuat dua kemungkinan, pertama adalah manusia di sini menjelajah sampai ke laut, atau hanya melakukan barter dengan manusia yang tinggal di daerah pesisir.

Sehubungan dengan penemuan ini, masyarakat sudah disosialisasikan untuk menjaga Gua Pawon. Gunung Masigit pun juga sudah dilindungi. Gunung ini menjadi referensi dari formasi rajamandala yang usianya 30 juta tahun yang lalu.

Nah, sekarang mari menilik dari kacamata legenda Sunda. Ada hawu yaitu tungku, ada pabeasan yang artinya tempat beras, pawon yang artinya dapur. Terdapat pula Karang Panganten dan Gunung Masigit yang berarti masjid. Ceritanya adalah amarah Sangkuriang yang bukan saja menelungkupkan perahu, tetapi juga mengacak-acak persiapan pesta sehingga segala isi dapur berantakan ke mana-mana! Waduh, serem juga kalau Mas Sangkuriang marah! Hehehe.

Akhirnya pukul 5 sore kami bergegas pulang dengan menumpang mobil dan truk untuk keluar sampai ke jalan raya, tempat bis kami parkir untuk kembali ke Bandung.  Kulit saya terbakar, keringat bercucuran, tapi senangnya bukan main! :D Akhirnya kesampaian juga bermain ke wilayah ini.


Kawasan Karst Citatah
Padalarang, Kabupaten Bandung,Jawa Barat

Kata kunci : Gua Pawon, Citatah, Gunung Masigit, Gunung Hawu, Stone Garden

Minggu, 02 Desember 2012

(Selalu) Ada Cerita Dalam Angkot


Angkutan kota adalah sebuah moda transportasi perkotaan yang merujuk kepada kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan. Tidak seperti bus yang mempunyai halte sebagai tempat perhentian yang sudah ditentukan, angkutan kota dapat berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja. (Wikipedia Indonesia)

Kami lebih suka memanggilnya dengan bentuk akronim, angkot

Lucu. Secara bertubi-tubi seakan-akan pada saat yang sama sekeliling saya bicara soal ini. Dari mulai isu perparkiran kampus yang korelasinya tak jauh dari angkot, sampai kelompok-kelompok orang yang memang mengulas habis tentang si angkot ini sendiri. Saya sendiri baru mulai menjadi pengguna setia angkot ketika saya resmi menjadi mahasiswa di Bandung. Sebelumnya cenderung jarang menggunakannya, ketika masih berseragam sekolah di Kota Jakarta.

Bukan perihal sejarah atau bahasan serius yang mau saya bagi. Hanya hal-hal kecil yang sering jadi rutinitas saya di dalam angkot.

Pertama, saya bisa jadi orang paling sok tahu. Kenapa? Saya senang menerka-nerka latar belakang, urusan, tujuan akan ke mana, sampai apa yang dipikirkan seseorang lewat gaya berpenampilan, apa yang dibawa, dan raut wajahnya. Dalam hal ini adalah para penumpang angkot.

Mbak-mbak PNS  berseragam dengan bedak tebal, bersepatu hak tinggi, dan wangi parfum yang semerbak.

Anak SD akan berangkat sekolah yang memilih sarapan dengan biskuit-biskut manis di tangannya sambil digandeng ibunya yang asyik merumpi dengan ibu-ibu lain dalam bahasa sunda.

Mahasiswa yang hanya sempat sarapan gorengan dengan rambutnya yang masih basah habis keramas.

Anak ABG dengan gerombolannya yang sibuk memilin rambut dan poninya.

Dan banyak lagi, tidak akan ada habisnya kalau saya deskripsikan satu persatu. Hehe

Kedua, angkot bisa jadi tempat saya untuk bertemu dan terlibat dalam obrolan singkat, basa-basi dengan orang-orang yang tanpa sengaja bertemu dalam satu mobil yang sama. Yaa.. 99% persen pertanyaan yang dilontarkan ketika si A bertemu dengan si B di angkot,

"Mau ke mana?" atau "Dari mana?"

Klasik. 

Tapi setidaknya ada tambahan informasi yang saya dapatkan ketika terlibat dalam obrolan super singkat itu. 

Ketiga, saya  jadi orang yang "tidak sengaja" tahu urusan orang. Hahaha. Toh bukan salah saya kalau kuping ini tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan orang lain yang jaraknya tidak sampai 1 meter dari saya. Atau bahkan pembicaraan di telepon genggam, di mana si penerima telepon berbicara keras-keras sampai seantero angkot bisa dengan jelas mendengarkan. Mulai dari gosip tentang anu, obrolan ringan tentang kehidupan, sampai obrolan basa basi ketika si A tidak sengaja bertemu dalam satu angkot yang sama dengan kenalannya.

Interaksi langsung dan tidak langsung sekelompok manusia beda latar belakang dalam satu atap kendaraan yang sama. Saya anggap sebagai cerita yang tidak ada habisnya, dengan penumpang yang silih berganti, pun dengan kisahnya masing-masing. Selalu baru, seru!

Ngangkot, yuk! :)

Minggu, 04 November 2012

Doa


"Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakinya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." 
(Ayat Seribu Dinar)


"Ya Allah bahwasanya waktu dhuha itu waktu dhuha-Mu, kecantikan itu kecantikan-Mu, keindahan itu keindahan-Mu, kekuatan itu kekuatan-Mu, kekuasaan itu kekuasaan-Mu dan perlindungan itu perlindungan-Mu. Ya Allah, jika rizkiku masih di atas langit. turunkanlah. Jika ada di dalam bumi, keluarkanlah. Jika sukar, mudahkanlah. Jika haram, sucikanlah. Jika masih jauh, dekatkanlah. Berkat waktu dhuha, keagungan, keindhan, kekuatan, kekuasaan dan perlindungan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh" 
(Doa shalat sunnah Dhuha)

Aamiin. 

Konsisten. Sabar. Semua akan indah pada waktunya. 

Goodluck, everyone! ;)

Krisis Kepercayaan


Ada dua hal bersentuhan dengan saya beberapa bulan belakangan yang saya soroti. Dua program dalam waktu berbeda, yang satu dari pihak pemerintahan, yang satu lagi dari seorang tokoh tersohor di Bandung. Persisnya tidak akan saya bahas detail di sini. Saya bukan mau membahas tentang konten program atau apapun itu namanya. Tetapi mengenai respon terhadap si program.

Pertama, dari tawaran program pemerintah. Dari pertama kali melihat undangan pertemuan, kemudian mulai mencari tahu, menghadiri pertemuan, mendengarkan dengan seksama, ikut mengeluarkan pendapat. Mencoba mengingat respon orang-orang di sekeliling saya, pun saya sendiri, adalah penuh kecurigaan. Padahal kalau dilihat isinya, tujuannya, semuanya positif. 

Lalu kenapa?

Kedua, sebuah gerakan yang ditawarkan oleh seorang tokoh cerdas yang inspiratif. Pertama mendengarnya, mulai mencari tahu, mengirimkan delegasi untuk menghadiri pertemuannya, sampai akhirnya turun sendiri untuk ikut tahu situasi. Lagi-lagi ada kecurigaan. Padahal isi presentasi, paparan mimpi, semuanya sangat-sangat positif dan brilian! 

Lalu kenapa?

Ada alasan traumatis tentang ketakutan dalam pemanfaatan kepentingan berbagai pemangku jabatan di ranah politik, ataupun oknum yang justru baru akan 'mengincar' si bangku itu. Tidak beralasan kuat memang untuk semata-mata menuduh seseorang atau sekelompok orang. Namun itu yang terjadi sekarang ini. Banyak hal yang terjadi, namun kasus selentingan dan kabar di media didominasi oleh hal yang negatif membuat sebagian besar orang mulai skeptis.

Si pemangku jabatan, pemain utama yang mengendalikan pemerintahan tidak dipercaya, si tokoh inspiratif yang seharusnya bisa jadi harapan pun jadi bahan kecurigaan.

Lalu siapa lagi yang berhak mendapat kepercayaan?

Yang saya kaget, saya yang berusaha mengeluarkan optimisme itu ternyata terbukti terpengaruh juga melalui alam bawah sadar saya.  Tiba-tiba seketika saya menjadi orang pesimis yang menilai dari sisi negatif.

Kalau gagal bagaimana?
Kalau si anu berniat buruk bagaimana?
Kalau keterlibatan kita merugikan, lalu bagaimana?

Pertanyaan semacam itu menari-nari di kepala. Padahal sudah tahu dan sadar bahwa si rasa kepercayaan ini adalah energi positif untuk si pelaku. Namun harus disampaikan dengan cara yang cerdas. 

Saatnya terus tersadar, membaca dan memanfaatkan peluang, lahirkan rasa optimis, percaya, dan bermimpi! Selama saya sendiri belum masuk ke ranah yang lebih besar itu, tetap berdoa yang terbaik untuk si pemegang amanah dan calon-calon pembangun bangsa saat ini

Yeah!

Sabtu, 25 Agustus 2012

Tanah Surga... Katanya : Potret Dilema Masyarakat Perbatasan


Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jalan cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman



Lagu yang dipopulerkan Koes Plus ini lantas terus terngiang di telinga.

Film layar lebar ini berhasil membuat saya termangu. Sampai ketika saya menulis ini pun masih ada perasaan mengganjal yang tertinggal di benak saya.


Tanah Surga... Katanya mengisahkan potret kehidupan masyarakat dusun pedalaman Kalimantan Barat yang hidup di perbatasan Indonesia-Malaysia. Pesan saya, jangan salah interpretasi. Yang mau disampaikan bukan jenis provokasi hubungan Malaysia-Indonesia yang sempat tidak akur. Mari melihat dengan kacamata lain.

Adalah sangat manusiawi ketika sebagai seorang rakyat akan berusaha mencari bentuk penghidupan yang layak. Pun sangat wajar ketika harus memilih, pilihan akan jatuh pada sebuah kesejahteraan kehidupan yang pasti dan jauh lebih menjanjikan. Ini yang dialami oleh keluarga Hasyim (Fuad Idris), sang mantan pejuang Indonesia yang memiliki rasa cinta dan percaya penuh pada Tanah Air Indonesia. Indonesia harga mati.

"Indonesia itu negara kaya!"
"Yang kaya itu Jakarta, Pak! Rakyat Kalimantan pinggiran seperti kita tidak dapat apa-apa!"

Kira-kira begitulah gambaran perdebatan Hasyim dan anak lelakinya, Haris (Ence Bagus). Haris adalah contoh dari sekian banyak masyarakat perbatasan yang berhasil termanjakan oleh perputaran uang dan fasilitas di negeri tetangga. Alih-alih mendapat fasilitas penghidupan yang layak, Haris memilih berpindah kewarganergaraan. Kasarnya, boro-boro mau mempertahankan kecintaan pada Indonesia, menikmati kehidupan layak pun tidak. Salman (Osa Aji Santoso) memutuskan untuk tetap bertahan di tanah Kalimantan dengan kakeknya, sementara Haris memboyong adik Salman, Salina (Tissa Biani Azzahra).

Bentuk kritikan pedas beberapa tersampaikan dengan cara blak-blakan, sedangkan sebagian besar sisanya digambarkan lewat detil pola hidup si masyarakat dusun tersebut. Menangkap semua detil itu membuat perasaan semakin miris. Mulai dari perbedaan drastis penampakan jalan raya perbatasan Indonesia-Malaysia, hingga bentuk eksistensi identitas bangsa yang rupanya minim dirasakan masyarakat pinggiran ini. Lembaran uang rupiah pun rasanya seperti melihat uang monopoli.

Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini...

Saat ini lagi-lagi saya merasa sangat bersyukur dilahirkan di tanah Jawa, di mana segalanya serba berkecukupan. Mengeluhkan hal-hal sepele menjadi hal yang memalukan rasanya. Menyaksikan film ini menjadi sebuah tamparan keras. Beberapa orang bisa memandangnya "Ah, itu kan cuma film". Saya memilih esensi film ini sebagai sebuah suntikan energi dan bentuk PR besar. Untuk yang sedang memerlukan pecutan dan sentilan dalam hal berkarya untuk bangsa, film ini sangat saya rekomendasikan! :)


Kamis, 16 Agustus 2012

Salam Selamat dan Semangat untuk Indonesia





Indonesia, Tanah Airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu Ibuku
Indonesia, kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka merdeka
Tanahku negriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka merdeka

Hiduplah Indonesia Raya



"Buka mata, Buka mata! Buka otak! Buka telinga!"

"Kita kaja, kaja, kaja-raja, Saudara-saudara : Berdasarkan atas "imagination", djiwa besar, lepaskan kita ini dari hal itu, Saudara-saudara."

"Gali ! Bekerdja! Gali! Bekerdja! Dan kita adalah satu tanah air jang paling cantik di dunia."

-Kutipan Pidato Soekarno 26 Juli 1956-


33 Provinsi
1128 Suku
746 Bahasa daerah

Satu Indonesia

Selamat ulang tahun, Bangsa Indonesia!
Bangsa yang besar lahir dari percaya akan mimpi yang besar.



Rabu, 15 Agustus 2012

Kreasi Topeng Lukis Pertama!

14 Agustus 2012


Awalnya niat saya hanya mau membereskan isi kamar. Saya mulai mengobrak abrik lemari dan menemukan perangkat melukis saya. Hmm... Ada palet yang belum sempat dibersihkan rupanya. Terakhir kali saya melukis adalah di bangku SMA, jika dihitung berarti sudah sekitar 3 tahun yang lalu! Dan paling serunya, saya temukanlah topeng ini,  si topeng putih bersih yang siap dilukis. Saya ingat ketika kelas 3 SMA sempat iseng membelinya di toko peralatan melukis Prapatan, di bilangan Fatmawati.

Saya pandangi si topeng dan seketika tangan mulai gatal. Saya ambil perangkat melukis saya. Awalnya saya ambil cat akrilik, kuas, palet, dan air. Lalu saya mulai memikirikan motif yang bisa dituangkan ke atas wajah putih ini. Entah mengapa yang terlintas dalam pikiran saya adalah "burung merak". Motif itu membayang-bayangi saya untuk dibubuhkan ke atas topeng. Bagaimanapun caranya harus bisa masuk! Akhirnya saya bolak-balik buku-buku tentang hewan dan browsing di internet untuk mendapatkan gambar detail bulu merak.

Peralatan siap tempur!

Prosesnya agak lama. Karena sejujurnya saya bukannya langsung beride dan dalam sekejap menuangkannya dalam sketsa awal. Konsep untuk burung merak sudah masuk dan mulai saya tarik garis sketsanya di atas kertas. Awalnya saya pun ingin menorehkan si ujung pensil ke atas topeng. Tapi pertama, saya tidak tahu penghapus saya di mana, dan kedua saya tidak mau bekas pensil nantinya akan membekas di topeng meskipun telah diwarnai. Dan ini adalah karya pertama saya tanpa menggambar sketsa dengan pensil terlebih dahulu di atas media gambar!

Sketsa asal-asalan

Yang membuat saya sempat panik, ketika mulai mewarnai saya baru menyadari sebagian besar cat akrilik saya sudah kering! Akhirnya saya kembali mengobrak ngabrik lemari dan mengambil peralatan cat minyak. Untungnya perlengkapan tersebut masih utuh dan masih oke punya meskipun yang saya miliki hanyalah warna-warna dasar saja.

Coret sana-sini, tiba-tiba mulai muncul ide untuk memasangkan kupu-kupu di sisi kanan topeng. Kebetulan 2 binatang cantik ini adalah favorit saya. Kembali saya buka buku referensi hewan, dan saya temukan motif kupu-kupu yang sekiranya cocok. Hore! Tanpa berpikir lama lagi, saya tarik kuas ke atas topeng dengan cat kuning cerah. Pilihan untuk menggunakan cat minyak ternyata pilihan tepat karena dengan karakteristiknya yang tidak terlalu cepat kering menjadi lebih mudah untuk membuat gradasi sana-sini.

Step by step

Voila! Jadilah topeng lukis pertama saya! Meskipun belang-belang dan tidak rapi, tapi ini berhasil mengobati rindu saya dengan menggambar. Saya beri judul simpel:


"When Butterfly Meets Peacock"

tampak depan




Here's the peacock


Say hello to my yellow butterfly!

Sabtu, 21 Juli 2012

Menengok Sejarah Cidugaleun

21 Juni 2012

Setelah berkeringat dari perjalanan cukup jauh ke mata air Cihantap dengan Pak Wahyu, saya putuskan untuk istirahat sebentar di Kantor Balai Desa. Saya pun tenggelam dalam obrolan ngalor ngidul dengan Pak Wahyu, Pak Ajat, Pak Firdaus, dan Pak Dede ditemani segelas air putih.

Cidugaleun. Asal muasal katanya dari Kedugalan, yang artinya adalah kekuatan. Ya, desa ini terkenal dengan orang-orang berilmu di dalamnya, dengan kekuatan tak tertandingi. Tidak bisa dipandang secara akal sehat. Ilmu-ilmu itu dimiliki oleh para leluhur. Macam-macam jenisnya. Ada yang bisa menggunakan betisnya sebagai penggantu kayu bakar, punya kemampuan pelet, sampai ada pula yang mendapat julukan Sangkuriangnya Cidugaleun, karena bisa menggarap berhektar-hektar sawah tengah malam seorang diri.

Ternyata hal ini tidak asing lagi di telinga penikmat ilmu-ilmu tersebut untuk kepentingan duniawi. Tak jarang pendatang melancong ke Cidugaleun untuk kepentingan jodoh, harta, dan kedudukan. Orang Banten yang hendak menaikan ilmu, pasti ke desa ini dan menginap sampai 4 hari 4 malam. Hanya saja, kabarnya kemampuan ini tidak bisa dinikmati warga Cidugaleun sendiri.

Alkisah namanya Mahdugal Kawasa. Seorang wanita yang cantiknya bukan main. Konon panjang rambutnya lebih dari 10 meter panjangnya. Kabarnya ia adalah salah satu dari penyebar agama Islam di Pulau Jawa, di luar dari yang sering kita dengar, Wali Songo. Meskipun perempuan, kekuatannya bukan main. Banyak sekali yang mau meminangnya, hanya saja terlalu banyak halangan yang menjadikan peminang bahkan tidak bisa menginjakan kaki di tanah Cidugaleun. Yang terkuat adalah Burangrang, itu pun belum sampai benar-benar bertemu dengan Mahdugal.

Hal ini menjadi salah satu kepercayaan masyarakat Cidugaleun, bahwa memanjangkan rambut bagi wanita seperti diharamkan. Selain itu seperti menjadi semacam sumpah, bahwa tidak ada satu pun warga Cidugaleun yang berparas cantik atau tampan. Tetapi ketika mereka keluar dari desa ini, katanya sih ada sesuatu yang menarik dari diri mereka. 

Ada lagi sebuah kepercayaan Sunda, yang kabarnya menjadi salah satu sumpah Mahdugal, bahwa rumah yang dibangun tidak diperbolehkan dengan tembok. Kalau tidak, akan kelaparan. Logisnya, ya ketika lahan sawah diambil alih untuk lahan tempat tinggal yang bertembok, bukan dengan rumah panggung, maka otomatis lahan tersebut tidak bisa digunakan untuk menghasilkan padi.

Pak Firdaus menyebut-nyebut sebuah naskah ejaan Sunda kuno di rumah Pak Endang si kepala dusun, sekaligus juru kunci makam. Saya pun dibuat tertarik. Wah, mengetahui cerita sejarah dibalik tempat yang saya tinggali, rasanya seperti menemukan harta karun!

Sore harinya setelah Ashar, saya ke rumah Pak Wahyu. Secara kebetulan tak lama saya sampai, Pak Endang datang. Setelah diceritakan oleh Pak Wahyu, maka Pak Endang pun memboyong saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis mengunjungi makam Mahdugal dan ke rumahnya.

Salah satu jalan yang kami lewati
Posisinya di Kampung Babakan. Kami harus melewati pematang sawah. Akhirnya sampai juga di hutan kecil tengah sawah. Makam di sana-sini. Hawanya beda. Ketika memasuki hutan itu, rasanya dingin. Jalannya berbatu dan berlumut. Sampailah kami di depan pagar sederhana yang ditutupi potongan tangkai bambu. Setelah menghentakkan kaki tiga kali, Pak Endang membuka pagar dan masuk.

Pintu masuk ke kompleks pemakaman. Siap-siap dengan hawa yang berbeda
Sedikit mendaki jalan berlumut menuju makam Mahdugal
Kompleks makam Mahdugal seluas sekitar 4x3 meter. Saya minta izin mengambil gambar dan diperbolehkan oleh sang juru kunci. Setelah itu tidak sampai 5 menit, kami keluar lagi. Tidak perlu berlama-lama. Langit juga sudah mulai gelap.


Pintu depan. Sang kuncen menghentakkan kaki tiga kali sebelum masuk
Makam Mahdugal Kawasa di sisi kanan
Kemudian saya ikuti lagi Pak Endang menuju kediamannya. Rumah panggung sederhana dengan pemandangan sawah terbentang. Jarak antar rumah berjauhan. Di dekatnya ada makam leluhur Pak Endang, juru kunci yang terdahulu. 


Sambil menunggu Pak Endang menunaikan shalat Ashar, kami disuguhi teh hangat. Beliau keluar kamar membawa naskah yang saya maksud, dan di tangan satunya ada pula kantong yang berisi beberapa barang pusaka. Wah. Saya sangat bersemangat! 


Naskah itu bentuknya seperti buku tulis biasa yang warnanya sudah kekuningan. Ditulis pada era penjajahan Belanda. Bukan dengan aksara sunda, hanya saja ejaannya masih ejaan lama dengan bahasa Sunda yang sangat halus. Ketika saya mengutarakan maksud saya untuk mengetahui isi naskah tersebut di balai desa tadi siang, Pak Firdaus bertanya balik ke saya. "Bener mau tau, Neng? Nanti takut lho"

Kabarnya isi naskah tersebut adalah tentang pembagian zaman di dunia. Bukan hanya Sunda, bukan hanya Indonesia. Tapi dunia. Pak Endang menjanjikan pada saya untuk mengabarin saya jika naskah tersebut sudah diterjemahkan dan diketik ulang dengan bantuan Pak Firdaus. Saya penasaran, tetapi tidak kekeuh untuk harus tahu. Jadi saya tanggapi dengan santai. 


Naskah dengan ejaan sunda kuno

Pusaka turun temurun
Setelah itu saya sibuk melihat-lihat benda pusaka yang ditunjukkan Pak Endang sampai tak sadar langit memang sudah benar-benar mau gelap. Jalan pulang yang akan kami tempuh tidak berlampu, akan gelap gulita di tengah pematang sawah. Maka saya, Pak Wahyu, dan Teh Deuis undur diri.

Wuaaaaaaaaah, hari ini seru sekali! :)



Jumat, 20 Juli 2012

Kilas Pandang Desa Cidugaleun


18 Juni 2012

Mencicipi 2 minggu di tanah Subang, saatnya berpindah haluan ke Tasikmalaya! Meninjau sampel kedua saya, untuk aplikasi program Pamsimas di wilayah Jawa Barat.

Saya berangkat dari Bandung pukul 10.00, setelah menunggu jemputan sekitar 2 jam lamanya di McDonald Simpang. Akhirnya mobil innova biru milik kantor Pamsimas Jawa Barat sampai setelah berjuang melawan macetnya Bandung dari arah Jalan Soekarno Hatta. Lama perjalanan diperkirakan 3 jam, dan Pak Ntis si pengemudi menargetkan pukul 12.00 sudah sampai di Kota Tasik. Tapi nyatanya tetap pukul 13.00 kami sampai di kantor Tasik, letaknya di daerah Mangkubumi. Masih di area kota Tasik.

Setelah beristirahat dan sempat mampir makan, berangkatlah saya ditemani Bu Creni dan Pak Dedi ke desa tempat saya akan menghabiskan hampir 2 minggu saya. Desa Cidugaleun. Ternyata dari Kota Tasik kami mengambil arah putar balik lagi. 

Sebelum berangkat Ibu Creni berkali-kali memperingatkan jeleknya badan jalan yang akan kami lewati. Dan benar saja. Jalannya jelek bukan main! Kalau kata Pak Dedi yang mengantar saya, "Ini sih bukan jelek, tapi jueeleeek", dengan logat Jawanya yang kental.

Belakangan saya tahu kalau jalan tersebut adalah jalan milik pemerintah, maka untuk perbaikannya tidak bisa seenaknya dilakukan oleh warga setempat. Tapi pada kenyataannya belum ada bentuk rekonstruksi jalan oleh pemerintah. Warga Cidugaleun hanya bisa menunggu dengan sabar dan "menikmati" sensasi goyang di jalan.

Saya jadi ikut deg-degan ketika melewati check dam, jalanan yang sisi kanan kirinya langsung berbatasan dengan sungai dan tingginya pun hampir sama. Dulunya ini adalah jembatan. Tetapi karena sempat terbawa lahar di peristiwa letusan Gunung Galunggung, maka jembatannya pun ikut hanyut. Konyolnya, setelah itu dibuat pembangunan tanggul. Tanggul? Hmmm coba saya telaah dulu ya. Apakah tanggul seperti ini bentuknya? Hahahahhaha. Hal ini sempat menjadi bahan bercandaan saya dan warga. Katanya, jika hujan deras turun, maka jalan itu akan tertutup air sungai dan orang tidak bisa lalu lalang di situ. Ada yang nekat melewatinya, alhasil mereka terbawa arus.

Turunannya super curam! Hati-hati kalau hujan deras

Oke akhirnya setelah bergerunjalan di jalan, hap! Akhirnya kami sampai juga! Kira- kira 1-1,5 jam perjalanan dari kota menuju ke sini. Hari sudah sore dan sempat hujan gerimis. Bu Creni yang sudah ketakutan jalanan akan tertutup luapan air dan tidak bisa pulang, segera undur diri.

Satu dari sekian ruas jalan yang jueleek aspalnya.
Desa Cidugaleun posisinya di Kabupaten Tasikmalaya, wilayah Kecamatan Cigalontang. Coba lihat di peta. Desa ini posisinya paling ujung, dan beberapa kilometer lagi kita bisa mencapai Garut! Lucunya, untuk mencapai Kantor Kecamatan Cigalontang, yang mana Desa Cidugaleun tercatat di dalamnya, kita harus melewati 3 kecamatan berbeda dengan jarak tempuh sekitar 1-1-1,5 jam! Kondisi desa di wilayah pegunungan dan berbukit-bukit. Dari desa terlihat jelas Gunung Galunggung dan Gunung Dinding Ari. Udaranya dingin dan bersih. Mayoritas penduduk Cidugaleun bertani, bisa dilihat dari luasnya hamparan sawah di sini. Desa yang luasnya mencapai 912,78 ha ini terdiri atas 4 kedusunan dan belasan perkampungan. Saya tinggal di Dusun Cidugaleun, di mana balai desa didirikan. 

Pemandangan Galunggung dari sisi jalan

Kampung Babakan, salah satu perkampungan yang masih didominasi sawah dan  bentuk rumah panggung

Jalan yang masih mulus
Kira-kira begitulah sekilas kondisi fisik Desa Cidugaleun! Setelah berhari-hari, saya temukan banyak lagi kisah dan tempat menarik di sekitarnya!