Minggu, 17 Juni 2012

12 hari mengenal keluarga baru di Desa Ponggang

Saya sangat ingin bercerita tentang keluarga ini! Dua belas hari saya habiskan bersama seluruh anggota keluarga ini. Saya tinggal di rumah keluarga Bapak Agan, aparat desa yang kesibukan dan keaktifannya di mana-mana. Istrinya adalah  Ibu Wida, seorang guru honorer SD yang tidak kalah sibuk. Keduanya memiliki 2 orang anak, yang sulung bernama Yopi, masih duduk di bangku kelas 2 SD. Sedangkan si bungsu adalah Sri Santika, yang biasa dipanggil Enon, masih kelas 1 SD. Tinggal pula bersama mereka, anak dari kakak Pak Agan, Andre namanya. Ia adalah yang tertua dan duduk di bangku 3 SD. Mari saya ceritakan satu persatu. Dua belas hari cukup untuk mengenal kelima karakter masing-masing orang ini.

Si Ayah, Pak Agan
Beliau tidak banyak bicara. Tapi kalau sudah mengobrol, bisa lama juga. Ia adalah lulusan Sarjana Teknik Mesin Itenas, Bandung angkatan 95. Ia memutuskan untuk kembali ke desa dan mengembangkan desa ini. Sejak muda ia sudah terkenal aktif. Sampai saat ini pun ia tergabung dalam berbagai urusan di desanya. Mulai dari mengelola buruh sawah, menjadi buruh kelapa sawit, aktif di Lembaga Keswadayaan Masyarakat yang dibentuk program Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), pegawai kelurahan, dan organisasi lainnya yang tidak saya hafalkan satu persatu. Ia mengaku pola kerjanya serabutan. Tapi tujuan hidupnya adalah bermanfaat untuk orang di sekitarnya. Terbukti dengan pengabdiannya dalam pengembangan Desa Ponggang bersama aktivis desa lainnya. Dengan senang hati ia mengantar saya melihat sarana Pamsimas di seluruh penjuru desa dan menyediakan informasi yang saya butuhkan. 

Si Ibu, Bu Wida
Bu Wida bukan wanita rumah tangga yang hanya sibuk mengurus rumah. Sejak pagi hari beliau sudah sibuk mondar mandir. Pagi, solat subuh, mandi, lalu memasak untuk sarapan dan terkadang sekaligus untuk makan siang, bebersih, mengantar anak-anak ke sekolah, mengajar di sekolah, dan masih mengambil kuliah di siang hari hingga sore untuk mendapatkan gelar S1nya agar diangkat menjadi guru tetap. Belum lagi beliau adalah pengurus PNPM (Pembangunan Nasional Pemberdayaan Masyarakat) untuk Desa Ponggang. Wah kalau sudah sore, saya bisa lihat raut wajahnya yang sangat kelelahan. Waktu tidur siang barang beberapa menit sudah sangat berharga untuknya. Merasa kehadiran saya cukup merepotkan, saya ikuti polanya di pagi hari. Setelah solat subuh, saya langsung membantunya memasak. Dan keperluan pribadi saya, saya urus sendiri seperti mencuci dan menyetrika baju. Dengan kesibukannya itu, ia masih sempatkan membantu anaknya belajar dan mengurus rumah. Keren! Karena kesibukannya itu, terkadang obrolan kami bisa ke mana-mana, karena beliau bukan ibu yang hanya mengurusi urusan dapur saja. Pembawaannya sangat menyenangkan dan asik. Beberapa informasi baru yang saya berikan padanya tidak sulit untuk diserap.

Si sulung, Yopi
Awalnya ia cenderung diam. Tetapi setelah saya main bareng, sialnya dia tahu kelemahan saya! Saya tidak bisa digelitik! Wah melihat kelemahan saya ini, Yopi dan Enon tidak hentinya menggoda saya. Sampai saya harus berpura-pura tidak kegelian untuk membuat mereka capek sendiri. Yopi lebih cuek dan cenderung tidak mudah menyampaikan keinginannya ke orang lain. Belakangan saya tahu dari Bu Wida kalau dulunya Yopi lebih mudah sakit-sakitan dan pertumbuhannya katanya tidak secepat adiknya. Yopi akan cepat kesal ketika keinginannya tidak dituruti. Tetapi untuk hal-hal yang menurut saya kurang baik, saya beritahu dan alhamdulillah dia mengerti. Belakangan ketika saya sudah meninggalkan Ponggang, Ibu Wida mengabari saya kalau Yopi menangis sampai tertidur ketika saya pergi :(

Yopi dengan gaya metal!
Si Abang, Andre
Sebagai yang paling tua, Yopi dan Enon memanggilnya Abang. Andre paling kuat pelajaran agamanya. Ia beberapa kali mengajak saya mengobrol tentang agama Islam,  mengingatkan solat, sampai persoalan jilbab :) Ia tidak segan menceritakan latar belakang keluarganya. Sifatnya lebih terbuka. Tahu saya tidak bisa bahasa Sunda, ia yang paling rajin mengetes perbendaharaan kata Sunda dari buku pelajaran bahasa Sunda. 

Andre : "Teh, kaki bahasa Sundanya apa, Teh?"
Rani : "Taluk" (Saya diajarkan untuk bilang kata ini kalau tidak tahu)

Cara bicaranya cenderung lebih lembut dari Yopi. Kalau dia tidak suka, ia akan cenderung diam. 

Andre bergaya bak sales buku. Hehe

Si bungsu, Enon
Ini si kecil yang wajahnya paling bikin gemas. Nama aslinya Sri Santika. Tetapi dipanggil oleh keluarga dan teman-temannya Enon. Sampai pada saat ia masuk sekolah, ia masih merasa asing dan tidak sadar nama aslinya! Hahaha. Pertama kali saya dekat dengan Enon. Ia sampai sempat tidur bareng di kamar saya. Enon sangat terlihat bukan anak manja. Kata Bu Wida, ia sudah dibiasakan untuk melakukan segalanya sendiri sejak kecil. Karena seringkali bermain dengan abang-abangnya yang laki-laki, pembawaannya terkadang lebih galak dan tomboi. Hahahha. Tapi seringkali cara bicaranya pada saya sangat manis :)

Enon dan tingkahnya dengan cengkeh. Hahahha
Beberapa hal membuat saaya salut dengan mereka. Ketiga anak ini dididik mandiri. Segalanya dilakukan sendiri. Mulai dari bangun pagi sekali, mandi sendiri, kemudian makan pun tidak susah. Dan mereka makan apa yang ada di rumah. Keinginannya untuk jajan tidak seperti anak-anak lainnya.

Kami sempat membuat pertunjukan wayang golek kecil-keclan. Lucu  banget! :D Saya masih suka tertawa sendiri kalau lihat rekamannya di kamera saya.

Senang sekali bisa menghabiskan hari-hari saya dengan keluarga ini. Keluarga baru juga untuk saya. Lain kali saya pasti main lagi! Terima kasih Pak Agan, Bu Wida, Yopi, Enon, dan Andre! :')

Sabtu, 16 Juni 2012

Hajat Wawar, Ritual Penolak Bala

Hari pertama saya di Desa Ponggang, saya pelajari profil desa. Ada informasi tentang upacara adat yang masih dilangsungkan masyarakat Desa Ponggang. Salah satunya Hajat Wawar.

Saya : "Hajat wawar itu apa, Bu?"
Bu Wida : "Itu neng, kalau ada gempa kecil, biasanya nanti kumpul dan berdoa bersama. Udah dari jaman kepercayaan Sunda dulu. Kalau jaman dulunya sih bawa makanan untuk sesajen. Semacam penolak bala (nasib jelek)."

Dan sehari setelahnya ada kabar gempa bumi di Sukabumi, yang terasa sedikit sampai desa ini.

Tepatnya tanggal 14 Juni 2012, seminggu setelah obrolan itu berlangsung dan sehari sebelum saya meninggalkan Desa Ponggang. Peringatan Hajat Wawar dilakukan di depan rumah Abah, Bapak dari Pak Agan. Dimulainya sekitar pukul 17.00. Sekitar 20an warga berkumpul dengan beralaskan tikar. Semuanya membawa makanan dan diletakkan di tengah-tengah. Ada beberapa jenis minuman dalam cangkir kecil, berbagai jenis nasi dan ketan, dan lauk. 

Mengusir lalat-alat pengganggu sambil menunggu orang-orang berkumpul
Setelah semua berkumpul, Abah memulai ritual. Asap mengepul dan suatu bau muncul. Kemenyan dibakar dengan rokok. Di depannya Abah membaca sesuatu. Komat kamit. Saya coba dengarkan, oh ternyata membaca ayat suci Al-Qur'an. Ada bentuk perkawinan antara adat dan agama di sini. Konon ini adalah bentuk kepercayaan masyarakat Sunda karuhun dengan makanan yang dibawa adalah menjadi bentuk sesajen penolak bala. Setelah itu Pak Agan, sebagai aparat desa memberikan sedikit pidato berbahasa Sunda dan dilanjutkan dengan doa bersama. Doa dipimpin pak ustad dan kami mengamini.

Aamiin..

Abah sedang berdoa dengan suara yang nyaris tak terdengar
Waktu menunjukan hampir maghrib, dan ritual diakhiri dengan menyantap makanan yang dibawa sendiri oleh warga. Saya makan banyak sekali! Semua orang saling berbagi makanannya di atas daun pisang. Sisa makanan yang banyak dibawa kembali ke rumah masing-masing. 


Makan-makan!
Saya merasa beruntung bisa mengabadikan momen ini! :) Mungkin hikmah dari ritual ini adalah musibah yang mendekatkan satu sama lain. Karena dengan ritual ini semua orang ngariung bareng.

Ekspedisi Mata Air Cidomas

Minggu, 10 Juni 2012

Hore! Akhirnya tiba saatnya saya melihat langsung mata air Desa Ponggang, yang menjadi sumber kehidupan desa ini. Saya harus menunggu hari Minggu agar bisa ditemani oleh bapak-bapak dari pegiat progam Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) di Desa Ponggang. Ada Pak Edo, Pak Maman, Bu Wida, Pak Asep, dan Pak Uyo yang memandu saya.

Sebelumnya ketika saya sampaikan keinginan untuk melihat broncaptering (bak penampung mata air), semuanya menyatakan bahwa medannya sulit. Ah saya justru merasa tertantang! :D Berbekal celana dan kaus panjang, sendal gunung, topi, kamera, dan buku catatan, saya siap berangkat!

Pukul 10 pagi kami janjian di sebuah warung, dan naik motor hingga kebun kelapa sawit. Jalan masuknya tidak terlihat dari luar. Sebenarnya bisa saja kami menyusuri dari hilir sungai. Tetapi Pak Edo memilih jalan pintas dari hutan. Kami menyusuri hutan kelapa sawit, turun terus ke bawah, hingga bertemu hutan. Jalanan cukup licin dan turun terus ke bawah.


Akhirnya setelah menyusuri hutan dan satu kali jatuh terpeleset, sampai juga di sungai! Hore! Ternyata sungai berbatu dengan air yang sangat jernih! Dan ada tebing tinggi di sisi-sisinya. Saya sangat bersemangat! Pak Edo dan Pak Maman menganjurkan untuk mencopot sendal saya agar tidak licin. Karena kami akan berjalan di atas bebatuan. Dengan bantuan Pak Asep, saya bisa lancar melompati batu satu dan lainnya. Meskipun beberapa kali kagok juga karena arusnya lumayan deras dan batuannya licin.


Ini yang menarik. Ada pipa yang mengalirkan air dengan posisi yang digantungkan ke pohon. Bentuknya seperti jembatan. Modifikasi ini dibuat sendiri! Sebelumnya seluruh pipa berada di pinggir sungai sejak dibangun tahun 2009. Tetapi tahun 2010 lalu terjadi banjir bandang yang menghancurkan pipa-pipa tersebut. Dengan dana swadaya, masyarakat membangun lagi dan mengakali pipa-pipa ini dengan digantungkan ke pohon, atas ide Pak Uyo, yang diangap paling mengerti soal teknis.

Jembatan gantung pipa

Menyusuri sungai, dan kemudian naik ke darat lagi untuk melihat jalur pipa di pinggir sungai. Ada dua pipa dari dua broncaptering yang berbeda. Pemasangann valve di beberapa titik dibuat permanen dan tidak bisa dibuka dengan tangan telanjang tanpa alat, untuk mencegah keisengan orang membuka tutup valve.


Ada pula bentuk jembatan dengan bahan semen untuk jalur pipa di dalamnya. Infrastruktur jembatan juga didesain sendiri oleh Pak Uyo. Kami sempat beristirahat sejenak di sini.

Pak Uyo bergaya sejenak di atas jembatannya. Hehe

Wuah! Sampe copot sol sepatu saya! Hahaha. Untung di bagian belakang, jadi tidak terlalu mengganggu
Akhirnya sampai juga di broncaptering! Dua kotak besar yang di dalamnya menampung limpahan mata air yang keluar dari batuan untuk disalurkan ke masyarakat desa. Proses membangun broncaptering besar memakan waktu hingga 1 bulan dan sedikit terhambat karena selain memang ukurannya lebih besar,  pada saat itu adalah musim penghujan. Ketika proses pembangunan sering terhenti ketika arus air mulai berbuih, tanda akan banjir. Sedangkan untuk broncaptering hasil Hibah Intensif Desa (HID), cukup memakan waktu 2 minggu saja. Material yang digunakan sebagian berasal dari sungai itu sendiri, yaitu pasir kali dan kerikil. Sedangkan untuk semen tetap perlu memanggul dari atas. Yang menarik dalam proses pembangunannya adalah perlu mengalihkan aliran arus sungai agar tidak mengganggu. Pemindahan batu-batu besar hanya bermodalkan dongkrak dan menggulingkan si batuannya! Pak Uyo bercerita sambil menunjuk jempolnya yang sempat terluka karena terkena batu.

Tempat bapak-bapak itu duduk adalah broncaptering yang dibangun pada tahun 2009, dengan ukuran lebih besar. Sedangkan di sebelah kanan, yang lebih kecil adalah dari HID dibangun tahun 2011 . 


Setelah puas beristirahat dan mengorek info dari Pak Uyo, kami kembali lagi ke atas. Jalan menanjak? Tidak masalah! Saya dengan mudah jalan cepat hingga ke atas dan ternyata mengalahkan yang lain. Hahaha.

"Neng kalau di hutan saya ngaku kalah deh neng. Kuat banget," kata Pak Edo. Hahaha. Bu Wida pun tertinggal jauh di belakang. Padahal saya cupu berat ketika lompat-lompat di batuan sungai. Hehe.

Bu Wida ngos-ngosan mendaki ke atas
Setelah kembali ke desa, perut keroncongan! Kami langsung menyantap nasi liwet hangat yang nikmat sambil sedikit membahas apa yang sudah saya lihat tadi.

Nasi liwet (lagi)!
Wah mata air Cidomas cocok untuk tempat wisata. Tetapi memang katanya ketika musim libur Lebaran, sungai ini cukup ramai dikunjungi. Sayang pada waktu itu saya tidak banyak menceburkan diri untuk main karena membawa buku catatan dan kamera. Hahaha lagipula memang tujuan awal untuk "kerja". Hehe. Lain kali saya akan ke sana lagi! PR saya selanjutnya adalah mempelajari gambar teknik si broncaptering :) Yeah!

SAMPO-SS, Rintisan Wirausaha Jamban Sehat Sederhana


Rabu, 6 Juni 2012

Hari ketiga saya di Desa Ponggang. Pukul 10.00 pagi saya dijemput oleh Pak Edo, Ketua Satuan Pelaksana Lembaga Keswadayaan Masyarakat Desa Ponggang. Nama Aslinya dalam KTP sebenarnya Pak Warga, hanya saja lebih beken disebut Pak Edo. Sehari sebelumnya saya dihubungi Pak Edo karena pada hari ini kata beliau akan ada pihak provinsi yang akan melihat jamban sehat, yang belakangan saya ketahui adalah Ibu Beti, dari Water & Sanitation Program, World Bank.

Saya dan Pak Edo menuju ke kediaman Ibu Kokom namanya. Bu Kokom baru saja membuat jamban pribadinya. Ibu Kokom bukan berasal dari keluarga berpunya. Ia berinisiatif membuat jamban pribadi setelah Pak Edo membentuk wirausaha pembuatan jamban. Sebelumnya Ibu Kokom mengaku membuang air di sungai, atau meminjam dari tetangga sebelah. Pada saat itu ada pula Ibu Cici yang sudah lebih dahulu memiliki jamban pribadi. Ibu kokom mulai merasa kesulitan membuang air besar karena jauhnya lokasi sungai tempat ia biasa membuang air. Pada awalnya ia enggan membangun jamban pribadi karena dianggap sebagai barang mewah.



Ibu Kokom
Ibu Kokom ikut  berkeringat mengerjakan septic tank nya sendiri

Namanya Sanitasi Masyarakat Ponggang (SMP), bentuk wirausaha sanitasi yang dirintis Pak Edo sebagai hasil pelatihan dari Water Sanitation Program, yang diselenggarakan oleh World Bank. Pelatihan tersebut selesai pada tanggal 5 Mei 2012. Pak Edo memulai usahanya pada tanggal 17 Mei 2012 dengan diawali sosialisasi sejak selesai pelatihan. Sosialisasi yang dilakukan Pak Edo tidak formal. Ia secara rutin mendekati setiap ada warga yang sedang berkumpul. Misalnya sedang istirahat setelah bertani di sawah, atau obrolan-obrolan ringan dengan ibu-ibu setempat. Pada saat ini jamban yang telah terbangun berjumlah 11 buah, dengan pemesanan untuk beberapa waktu ke depan mencapai angka 20an. Bentuk wirausaha yang dirintis Pak Edo memerlukan kerja tim, yang diisi oleh keluarga dari Pak Edo sendiri. Yaitu terdiri atas ahli teknik, manajer, bendahara, dan sales. Sedangkan untuk kuli yang mengerjakan saat ini sudah mencapai 8 tukang yang sudah terlatih.

Pelatihan tersebut diikuti oleh 4 kabupaten, yaitu : Subang, Cianjur, Bogor, dan Bandung. Setiap kabupaten mendelegasikan 2 orang untuk melaksanakan pelatihan. Pak Edo merupakan salah satu perwakilan Kabupaten Subang, yang direkomendasikan oleh Kepala Seksi bidang Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Subang. Karena masih banyaknya penduduk kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki jamban di Desa Ponggang, saat ini Pak Edo menargetkan desanya sendiri untuk pembangunan jamban pribadi di rumah masing-masing. Ia menerapkan kebiasaan orang Sunda yang pasti akan mengikuti sesuatu yang sudah banyak dilakukan oleh sekelilingnya. Maka Pak Edo menawarkan usahanya ini dengan lokasi tersebar di berbagai RT. Melihat keadaan ekonomi warga yang beragam ini, Pak Edo menawarkan 4 paket tipe jamban dengan dilengkapi septic tank:
  1. Tipe 1 : 850.000
  2. Tipe 2 : 725.000
  3. Tipe 3 : 550.000
  4. Tipe 4 : 440.000

Biaya tersebut tidak harus dibayar lunas, tetapi Pak Edo menawarkan jasa cicilan 10 bulan dengan uang muka 20.000 saja. Tentu saja penawaran ini sangat menggiurkan. Prosedur pembuatan septic tank pada pelatihan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan mentah-mentah oleh Pak Edo. Ada beberapa jenis modifikasi yang dilakukan, disesuaikan dengan praktik di lapangan. Salah satu contohnya adalah penggunaan penghalang kayu pada cetakan fiberglass dan waktu pengangkatan cetakan setelah dicor semen.

Bentuk jamban dan septic tank sangat sederhana. Septic tank dibuat dengan kedalaman 1,5 m. untuk tipe paling murah, tidak semua dinding septic tank diberi lapisan semen, tetapi hanya pada bagian atas saja, berikut dengan tutupnya. 


Septic tank dalam proses pembuatan
Ini dia bentuk cetakan sederhananya. Si batang kayu yang direkatkan dengan baut ini adalah hasil modifikasi sendiri

Saat ini permintaan jasa Pak Edo sudah tersebar hingga ke desa tetangga. Pak Edo baru melakukan sosialisasi ke 6 kades, tetapi belum melaksanakan sosialisasi ke kader tiap desa. 

Pada dasarnya pemahaman masyarakat tentang sanitasi masih sangat kurang. Maka Pak Edo memiliki pendekatan tersendiri untuk memasarkan usahanya, yaitu :
  • Pembuatan jamban dan septic tank yang dilakukan sendiri akan sangat mahal modalnya
  • Bentuk septic tank dengan pengecoran semen di dinding salah satunya adalah agar tanah di dindingnya tidak longsor
  • Dari sisi kesehatan, bahwa septic tank yang bocor akan dapat mempengaruhi kesehatan yang lain.

Salah satu jompo yang dihibahkan produk jamban sehat SAMPO-SS (Sanitasi Masyarakat Ponggang-Serangpanjang Subang)

Selain itu, masyarakat masih beranggapan bahwa kedalaman septic tank semakin besar semakin baik karena lama pemakaiannya akan lebih lama. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan prosedur. Maka pendekatan untuk pemberian pengertiannya adalah :
  • Semakin dalam septic tank, maka material yang digunakan lebih banyak dan lebih mahal
  • Semakin dalam septic tank, maka kemungkinan dinding septic tank longsor akan semakin besar


Pak Warga a.k.a Pak Edo

Begitulah sebuah wirausaha sosial yang akan dikembangkan oleh Pak Edo. Dengan adanya usaha ini, masyarakat dengan penghasilan rendah akan lebih mempertimbangkan pembuatan jamban pribadinya karena harga yang ditawarkan sangat murah. Harapannya ini bisa menjadi batu loncatan untuk peningkatan kualitas sanitasi di suatu desa dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Salut untuk keinginan kuat Pak Edo! Semoga bisa berkelanjutan dan bermanfaat bagi sekitarnya, karena beliau adalah perwakilan dari Kabupaten Subang yang mendapat amanah ini.

Sabtu pagi di SD Mekarsari

Sabtu pagi! Saya sudah memasuki  hari ke 6 di Desa Ponggang. Ibu Wida, istri dari Pak Agan tempat saya tinggal, adalah seorang guru di SD Mekarsari. Anaknya Yopi dan Enon, serta keponakannya Andre pun disekolahkan di sini. Karena belum ada rencana ke mana-mana pada akhir minggu tersebut, maka saya mengiyakan ajakan Bu Wida untuk ikut kegiatan di SD Mekarsari. Hore!

Kegiatan rutin pada Sabtu pagi biasanya adalah bersih-bersih sekolah. Hanya saja ada yang istimewa untuk hari ini, karena ada praktek memasak! Sebelumnya anal-anak sempat diberikan teori mengenai masakan yang akan akan dibuat, dan hari ini adalah prakteknya. Seru!

Sampai di sekolah pukul 8 pagi, anak-anak sudah terlihat sibuk dengan kelompoknya masing-masing. Siswa dibagi dalam 3 kelompok dengan 3 meja terpisah. Ketika saya datang, semua sedang sibuk memarut singkong dan kelapa. Setelah saya tanya satu persatu dan informasi tambahan dari Ibu Rohanah, salah satu guru di sini, semuanya membuat makanan berbahan dasar singkong dan kelapa dengan 3 macam, yaitu : comro (oncom di jero), miro ( mi di jero), dan misro (amis di jero). Amis artinya manis, dan jero artinya dalam. Jadi kalau saya bisa oncom di jero, berarti ada oncom di dalamnya. 

Setiap kelompok berisi belasan anak yang dibagi-bagi tugasnya. Nah, kira-kira seperti ini proses mereka menyiapkan masakannya :

Memotong-motong kayu bakar untuk bahan bakar!
Kelompok ini mengambil singkong dari kebunnya, lalu mengupasnya sendiri.
Ini adalah tim sibuk di dapur. Setelah kelapa dan  singkong diparut, dicampurkan, lalu diperas airnya agar nanti mudah matangnya.
Mari mengadon! Ini untuk adonan comro, dengan isinya yang bukan oncom ternyata. Tetapi sebagai gantinya adalah sambal tempe yang tidak kalah enak! Setelah dibentuk-bentuk, adonan berisi  oncom dijejerkan dan siap digoreng.
Mari menggoreng! Laki-laki tidak kalah lihai nih

Hore ini dia! Dari sebelah kiri searah jarum jam, misro goreng atau ketingker, comro, miro, dan misro kukus atau ketimus
Ketimus! Ini favorit saya! Enak banget! Adonan singkong-kelapa kenyal di mulut dan gula merahnya adalah padanan sempurna! :9
Waktu sudah menunjukan sekitar pukul 10, dan anak-anak melanjutkan ke rutinitas rutin seperti biasanya, bersih-bersih sekolah. Tetapi dari anak-anak ini dibagi-bagi perannya. Ada yang beres-beres peralatan masak, mengepel, dan ternyata sebagian laki-laki harus berlatih voli. Saya diajak oleh Jeri dan Jujum, si anak kelas 3 yang ternyata tim inti voli SD Mekarsari untuk menonton mereka main voli! Setelah itu saya pun bersama guru-guru lain ikut main melawan anak-anak. Hahahha. Seru!

Yeah cowok-cowok perkasa! Mengembalikan bata untuk tempat menggoreng tadi ke tempatnya.
Mengepel masal
Yaaap kira-kira begitulah aktivitas Sabtu pagi di SD Mekarsari! Dan pukul 11 siang bel pulang berbunyi. Saatnya anak-anak kembali ke rumah masing-masing. Hebat! Sangat produktif kegiatan akhir minggu anak-anak SD Mekarsari! ;D

Kilas Pandang Desa Ponggang


Banyak pertanyaan yang muncul di kepala ketika bersiap-siap memasukan segala kepentingan untuk menginap 2 minggu di Desa Ponggang, Subang. Ini pertama kalinya saya menginjak tanah Subang. 

"Biasa-biasa saja, sedang-sedang saja. Agak Sejuk," begitu kata Ibu Desi, Kepala konsultan yang saya tanya tentang suhu udara di Desa Ponggang.

Berangkat dari Simpang pukul 8 pagi, dan sampai di Desa Ponggang sekitar pukul 10. Tidak perlu melewati jantung kota Subangnya, tetapi ada jalur sendiri dari arah Ciater. Kami lewat jalur Punclut, Ciater, kemudian ke kecamatan Serangpanjang.

Akhirnya masuklah kami ke gapura "Desa Ponggang". Lama berjalan, ternyata belum juga. Melewati satu dua dusun, bentangan sawah, dan kebun kelapa sawit! Saya pandang handphone saya, 

Limited service

Bentangan sawah

Kebun kelapa sawit
Akhirnya sampailah kami di depan sekretariat Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM). Sedikit banyak sudah saya ketahui bentukan lembaga masyarakat yang dibentuk untuk keperluan Pamsimas. Ada Pak Edo, Pak Uyo, Pak Mimin, Bu Ida, Pak Dede, yang menyambut kami. Dan ada pula Ibu Ratna dari kantor Pamsimas Subang.

Kami disambut dengan nasi liwet hangat dengan lauk dan sambel yang muantaaaaaap! (saya menelan ludah sambil menulis ini :P) Ramah tamah berlangsung sampai sekitar pukul 12.00.

"Di sini mah santai aja, Neng. Semuanya udah kaya keluarga."

Terdengar seperti basa basi, tetapi hanya dalam beberapa hari, saya bisa membuktikan bahwa pernyataan itu benar! :)

Desa Ponggang adalah salah satu dari 6 Desa di Wilayah Kecamatan Serangpanjang Kabupaten Subang yang terletak +  1 Km ke arah selatan dari Kecamatan Serangpanjang. Untuk ke Kota Subang, kita harus menempuh perjalanan antara 3 menit hingga 1 jam. Desa Ponggang Kecamatan Serangpanjang berada di ketinggian 8,62 mdl diatas permukaan laut dengan wilayah ± 141 Hektar.Suhu rata-rata harian di Desa Ponggang adalah 20-30 oC.

Desa ini terdiri atas 6 dusun yang dilintasi perkebunan kelapa sawit milik PTPN. Mayoritas penduduknya bertani. Tidak heran karena sebagian besar lahan desa didominasi dengan persawahan.Selain menjadi petani, sebagian mencari nafkah dengan menjadi kuli di kebun kelapa sawit. Sebenarnya saya masih tidak habis pikir ada kebun kelapa sawit di tanah Pulau Jawa. Banyak pertanyaan dalam otak saya, membayangkan banyaknya air yang terambil oleh tanaman jenis ini!

Rumah yang saya tinggali milik pasangan Ibu Ida dan Pak Agan. Mereka berdua termasuk dalam kelompok yang aktif di desa, dan salah satu pegiat dalam LKM. Posisi rumah bukan di dusun yang padat, namanya Dusun Cibereum. Ternyata si Abah, ayah dari Pak Agan adalah pemilik tanah di wilayah ini. Wah bukan main-main banyak tanahnya. Rumah ini pas sekali di depan sawah. Dan sejauh mata memandang, itu semua adalah sawah milik Abah! Tidak sampai situ saja, ketika saya sedang berkeliling melihat sarana kran umum, lagi-lagi saya melewati bentangan sawah berpuluh-puluh hektar yang masih menjadi miliknya. Ckckckck.

Rumah Bapak Agan, di depannya adalah bentangan sawah yang sangat luas!
Beberapa rumah terlihat menjemur cengkeh di depan rumahnya. Termasuk yang dilakukan Mih, ibu dari Pak Agan. Setiap panen cengkeh, anak-anak ikut membantu memisahkan tangkai dari buah cengkehnya dengan upah 1000 rupiah per anak. Saya pun ikut bantu, tanpa upah tentunya. Hehehe. Karena cuaca beberapa hari ini seringkali mendung, maka butuh waktu lebih lama untuk menjemurnya hingga benar-benar kering. Si cengkeh dibanderol dengan harga yang bisa mencapai 100.000 rupiah/kg, sedangkan untuk tangkai cengkeh dijual dengan harga murah untuk rokok.

Cengkeh yang siap dijemur
Tanpa keluar dari desa ini, sebenarnya sudah bisa hidup enak di sini. Beras ada dari sawah, ikan ada di kolam, ayam ada di kandang, sayuran ada di kebun, buah tinggal petik, air juga jernih bukan main. Hanya saja dulunya orang sini butuh berjalan sejauh-jauhnya hanya untuk buang air atau mengambil air. Untuk mandi, penduduk sini masih memanfaatkan aliran mata air yang dialirkan secara sederhana di dalam bilik-bilik. Tinggi dinding bilik di bawah dada, maka harus berjongkok jika ingin tidak kelihatan. Untuk rumah yang saya tinggali, alhamdulillah punya kamar mandi dan jamban sendiri. *lega


Tempat masyarakat mandi dan mengambil air. Di dalamnya mengalir air bersih yang  sangat deras!
Sungai lokasi sumber mata air Cidomas, yang menjadi sumber air minum warga. Sungai ini jernih sekali! Lokasinya tak jauh dari desa. (Akan ada cerita khusus mengenai kunjungan ke mata air ini :D)
Pernyataan mengenai "semua di sini adalah keluarga", bisa didefinisikan secara harfiah. Sebagian besar penduduk desa ini seperti punya hubungan darah satu sama lain! Setiap bertemu orang baru, tidak asing lagi di telinga saya jika ada informasi "saya masih saudara dengan Bapak/Ibu anu". Mengobrol dengan salah satu aparat desa, Bapak Uyo, beliau adalah turunan ke 5 dari penduduk desa yang pertama kali membuat pemukiman di daerah ini, yang tadinya adalah hutan. Konon kabarnya sawah pertama yang dibangun di wilayah Jawa Barat berada di desa ini. (karena dari buku yang saya baca, budaya masyarakat Sunda adalah masyarakat berladang). Sejak dulu Desa Ponggang terkenal dengan gotong royong dan keamanannya. Maka tidak heran beberapa program pengembangan desa bisa berhasil, karena swadaya masyarakat yang tinggi. Seperti pada minggu kedua saya di sini, tampak masyarakat sedang bergotong royong membangun saluran drainase untuk program PNPM Mandiri. 

Pembangunan drainase

Salah satu kendala saya adalah soal bahasa! Ya, bahasa Sunda. Meskipun sudah tahun ketiga di Bandung, saya belum juga fasih berbahasa Sunda. Jadilah saya hanya senyam senyum sendiri kalau obrolan sudah dengan bahasa Sunda dan apalagi sudah mulai tertawa-tawa. Hehe. Tapi bukan berarti saya jadi tidak bisa mengobrol sana-sini :) Untuk menambah keakraban, jika ada kumpul-kumpul sedikit (misalnya rumpi-rumpi ibu-ibu), sering sekali ngaliwet (makan nasi liwet dengan sambal, lauk, dan lalap :9). Saya jadi makan terus di sini! Hehehe.

Andalan : nasi liwet! :9

Kalau dibilang ndeso banget yang akses masuk hanya dengan jalan kaki, tidak juga. Ada jalan aspal di tengah desa yang memudahkan kita untuk mengakses daerah ini, meskipun sebagian besar jalan sudah tidak dalam kondisi yang layak. Tapi biarlah jauhnya akses untuk keluar ini bisa tetap menjaga nilai-nilai dalam Desa Ponggang. Yah, intinya saya sangat terkesan dengan segala kedekatan masyarakat Ponggang. Terutama dalam persoalan pengembangan air minum dan sanitasi yang menjadi tema evaluasi dalam kerja praktek saya ini! Akan butuh postingan tersendiri untuk membahasnya :) Selain dari sisi tersebut, saya pun belajar sangat banyak di sini! Setiap saya ngobrol panjang dengan siapa pun, saya pasti mendapatkan sesuatu! Dan beberapa obrolan sangat mengisi energi dan semangat saya untuk berkarya dan bermanfaat bagi orang banyak. 

Terima kasih untuk keluarga Ponggang! :) Saya akan main ke sana lagi!

Minggu, 10 Juni 2012

Sapaan dari Subang



Halo! Hari ini adalah hari ke tujuh saya di Desa Ponggang, Subang. Hingga 5 hari ke depan, saya akan masih berada di sini. Dengan sinyal modem internet yang minim dan untung-untungan (susah payah bersabar dengan sinyal yang bolak balik nyala mati), saya akhirnya bisa menyapa di sini! :) 

Ikut reality show Jika Aku Menjadi ya?

Hahahhaha. Bukan. Bukan. (Tapi hal ini sering menjadi bahan bercandaan teman-teman warga di sini). Yak, saya sedang kerja praktek! Sebelum masuk ke cerita desa tempat saya bertualang ini, saya akan sedikit cerita tentang kerja praktek saya ya!

Singkat cerita, saya mengambil tema kerja praktek mengenai penerapan teknologi tepat guna di masyarakat. Nah, yang saya teliti di sini adalah program milik Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Pengembangan Air Minum bernama Pamsimas. Pamsimas adalah program nasional penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat yang dananya berasal dari kontribusi masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Kegiatan ini didukung oleh Departemen Pekerjaan Umum sebagai Executing Agency bersama dengan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Kesehatan.

Dosen pembimbing saya adalah Pak Iwan Tresna Darmawan Kunaefi, salah satu dosen yang saya kagumi dari mulai hobi beliau yang suka diving sampai pengalaman dan ceritanya yang sangat beragam dan asik! Beliau adalah dosen di mata kuliah Infrastruktur dan Sanitasi, yaitu mata kuliah yang kaitannya sangat erat dengan tema yang saya angkat.

Jadi apa yang saya lihat?

Di kelas kuliah saya sudah cukup kenyang dengan materi-materi secara teknis. Pertanyaannya adalah bagaimana menerapkan sebuah teknologi di sebuah lingkungan masyarakat? Dalam hal ini kita tidak bisa kaku dan kalau bahasa Sundanya kekeuh dengan teori yang ada. Bentuk teknologi yang ditawarkan harus menyesuaikan kultur dari si penerima dan pengguna teknologi tersebut.

Nah, berhubung lingkup kerja praktek saya adalah evaluasi, Pak Iwan memberikan instruksi kepada saya untuk meninjau daerah yang dianggap berhasil oleh pihak pemerintah sebagai penerima program ini, dan telah berjalan selama 2 tahun lamanya. Nantinya yang saya lakukan adalah melihat dan membandingkan parameter keberhasilan yang dibuat oleh pihak manajemen Pamsimas dengan kondisi di lapangan, ditambah dengan parameter yang saya susun.

Akhirnya setelah berdiskusi dengan Ibu Desi, kepala konsultan provinsi Pamsimas dan Pak Adhi, Ketua Satuan Kerja Pamsimas Jawa Barat, jatuhlah pilihan Desa Ponggang di Subang dan Desa Cidugaleun di Tasikmalaya. Saya akan menghabiskan waktu 2 minggu lamanya di masing-masing desa tersebut. Harapannya saya mendapat perbandingan dari 2 lokasi yang berbeda.

Oke, wah kenapa ceritanya jadi panjang ya? Hahahahaha maaf ya saya masih kesulitan dalam hal meringkas cerita :p 

Jadi kira-kira begitulah sekilas tentang kerja praktek saya. Semoga bermanfaat dan bisa mendapat banyak hal di bulan kerja praktek ini! (Sampai saat ini alhamdulillah sudah dapat banyak hal asik! :D)

Cerita tentang Desa Ponggang ini sepertinya akan lebih panjang lagi. Saya tulis di postingan berikutnya ya!