Rabu, 18 Desember 2013

Refleksi Tahun 2013 : Main di Kandang?


Ya, tahun ini saya tidak menghasilkan banyak tulisan. Bahkan terhitung hingga saat ini, hanya hampir sepertiga dari hasil tulisan saya tahun lalu. Saya ingat kembali kalau tahun ini tidak banyak saya habiskan untuk bermain dan bertualang ke tempat-tempat baru, mengikuti berbagai macam kegiatan di luar seperti tahun-tahun sebelumnya.

Karena tugas akhir?

Hahaha. Tidak juga. Sebuah keputusan mengejutkan yang saya buat membuat saya harus mengundur waktu kelulusan saya hinggal April 2014 nanti (aamiin). Dengan minimnya pengembaraan saya ke tempat-tempat baru tahun ini, saya tidak katakan kalau saya tidak belajar banyak. Keputusan besar untuk berkomitmen dan mengabdikan diri di lingkungan yang sama, tidak terlalu besar, bahkan mengurus kebutuhan dasar manusia-manusia dalam lingkup tertentu ini sama sekali tidak terpikir dalam rencana hidup saya. Tapi saya belajar banyak. Banyak sekali. Dan hingga saat ini saya masih tidak bisa berhenti mensyukuri skenario dan 'ramuan' lingkungan yang Tuhan berikan untuk menjadi wadah belajar dan berkembang untuk saya.

Keputusan untuk mengurus kandang sendiri

Yang saya kerjakan saat ini di kampus menuntut saya untuk dapat berkomunikasi dengan berbagai jenis pihak. Bahkan bukan hanya berkomunikasi, namun saya harus mampu 'mengadvokasi' sebuah hal yang saya anggap benar ke beberapa pihak berbeda. Ini adalah hal baru untuk saya. Sejujurnya saya sempat takut menerima amanah ini di awal. Ini bukan keahlian saya dan bidang yang sudah sering saya geluti selama ini. Saya tidak kenal banyak pihak di lingkungan ini. Namun atas dasar kepercayaan dan niat bahwa sudah saatnya saya memberikan sesuatu ke lingkungan yang akan saya tinggali ini di tahun depan, saya terima amanah ini.

Berbuat baik itu sederhana

Dulu saya banyak terpaku dengan membuat karya dan memikirkan hal-hal besar yang seakan-akan untuk kepentingan orang banyak. Namun rupanya lingkungan terdekat yang selama ini saya anggap semuanya baik-baik saja, tidak semanis dan seberuntung penampakannya. Lagi-lagi saya teringat perkataan Pak Anies Baswedan yang menganalogikan kampus sebagai kolam renang, tempat berlatih sekeras mungkin sebelum terjun ke samudera. Kolam renang, sebagai sesuatu yang terukur. Ya, kami benar-benar sedang berlatih keras untuk berenang di dalamnya sekarang. Dan hey, kampus saya ini rupanya berisikan ikan dan tetumbu karang yang sewarna-warni itu! Lalu lagi-lagi saya merasa beruntung bisa 'berenang' lebih dalam, berlatih, dan mengenal isinya.

Saya selalu tersenyum mendengar komentar Wakil Rektor saya, Pak Kadarsyah, ketika beliau mengingatkan berulang kali pada saya. "Kamu sedang belajar menjadi public leader, setiap keputusan yang diambil harus untuk kepentingan orang banyak". Dan benar sekali. Baru kali ini saya merasakan efek secara langsung atas setiap keputusan dan kegagalan yang saya dan teman-teman ambil. Nasib keberlangsungan hidup di kampus dan kesejahteraan sekian banyak anak ada di tangan kami. 

Memberikan penghargaan pada diri sendiri itu sederhana

Mengetahui bahwa hal kecil yang kamu kerjakan itu sangat membantu, lalu membuat orang lain tersenyum, sudah membuat kesenangan yang tidak ternilai. 

Menemukan bahwa kita adalah orang yang masih jauh lebih beruntung, membuat malu diri sendiri dan menambah rasa syukur.

Lalu untuk tim kerja saya yang luar biasa, kebahagiaan itu juga dibentuk dengan sederhana. Melihat kedekatan tim dan keikhlasan bekerja yang terbaik untuk kepentingan orang lain, saya senang bukan main. Ini adalah energi terbesar yang pernah saya dapatkan dari lingkungan bekerja saya. Energi yang ditularkan antar manusia itu benar adanya.

Perasaan marah, meledak-ledak, menangis, tertawa, hingga senyuman puas sudah sempat saya cicipi. Manusia itu luar biasa beruntung karena mendapatkan anugerah untuk mengekpresikan apa yang ada di hatinya. Sejujurnya, ini seru sekali! :) Semakin digeluti, semakin sadar bahwa saya masih harus banyak belajar! Bahwa berhubungan dengan manusia hingga menginvestasi sebuah hal besar seperti mimpi ke dalamnya gampang-gampang susah. Kalau kata partner saya, harus belajar nrimo. Ya, dengan belajar menerima semua perbedaan orang lain terutama pihak-pihak yang berhubungan dengan hal yang kita kerjakan, semuanya terasa lebih mudah.

Ke depannya akan ada ratusan bahkan, ribuan, bahkan jutaan jenis manusia yang akan saya temui dan geluti di luar sana. Saya sangat bersemangat! Terima kasih untuk semua skenario dan 'ramuan' lingkungan sosial untuk tempatku belajar ini :)

Selasa, 10 Desember 2013

Santapan Cepat Saji Tanpa Rasa Bersalah





Ritme kehidupan di era saat ini membuat sebagian besar orang tidak mampu menyisihkan banyak waktu untuk pemenuhan urusan perut. Khususnya untuk usia mahasiswa dan pekerja yang dipadatkan dengan berbagai aktivitas. Untuk itu jenis makanan cepat saji mau tidak mau menjadi pilihan utama. Lain lagi ceritanya untuk sebagian besar orang yang sengaja memilih jenis makanan ini atas dasar selera, trend, dan pemuasan lidah. Bahkan ditemukan pula bahwa konsumsi jenis fast food menjadi salah satu pilihan untuk memberikan reward pada diri sendiri, meskipun ada sedikit perasaan bersalah dalam mengonsumsinya. Berbagai macam alasan ini mengakibatkan fenomena fast food makin menjamur, khususnya bagi masyarakat urban. 

Fast food = Junk Food?

Saya bisa bilang hampir semua makanan cepat saji dapat dikategorikan pula sebagai junk food. Konsumsi yang mengenyangkan, tetapi hanya berujung pada peningkatan kolesterol dan lemak yang tinggi untuk tubuh. Junk food bersifat sangat addictive bagi penikmatnya. Belum lagi produk-produk makanan yang beredar di supermarket saat ini semakin tidak familiar kandungannya. Istilah-istilah aneh yang-bahkan-saya-tidak-mampu-melafalkan-dengan-benar memenuhi bagian daftar kandungan yang terdapat pada kemasan makanan dan minuman saat ini.

Di tengah keprihatinan itu, Helga, sahabat saya sejak SD yang satu ini dengan semangat menggebu-gebu menumpahkan keluh kesahnya tentang fenomena kandungan makanan dan minuman yang dikonsumsi masyarakat saat ini. Di balik keluhannya, ia ceritakan juga ide dan mimpi besar bersama partnernya, Max. 

Mimpi besar membawa pasangan ini memutuskan untuk kembali ke tanah air setelah 4 tahun mengeyam pendidikan tinggi di Belanda. Iming-iming pekerjaan dan gaji berlimpah di sana kalah dengan idealisme dan spirit untuk membangun usaha dan kampanye di bidang makanan sehat. Wow!

Terhitung semenjak bulan Juli-November mereka sibuk mewujudkan ide hingga akhirnya semua orang bisa mencicipi karya mereka. Hamburger menjadi pilihan makanan yang mereka jual, sebagai salah satu jenis makanan yang paling digandrungi para pecinta fast food. Max sebagai vegetarian mewujudkan sajian ini dalam kandungan yang lebih 'ramah' untuk tubuh kita. 

Patty yang biasanya berbahan baku daging diwujudkan dengan pilihan bahan jamur, bayam, atau kacang-kacangan. Roti yang biasanya mengandung pemutih, mengandung banyak gula, dengan bahan lain yang mengenyalkan tekstur diwujudkan dengan homemade bun berbahan gandum namun tidak kalah enak tekstur dan rasanya. Saus mayonnaise dengan lemak tinggi diwujudkan dengan homemade light mayonnaise.

Yes, they call it Burgreens!


Welcome!


Sebagai pecinta makanan sejujurnya saya sangat menikmati sajian berkualitas ini. Terlebih idealisme dan konsep mereka yang kuat, bukan hanya kepentingan meraup keuntungan semata. Lokasi dengan wilayah perumahan di bilangan Rempoa ini disulap menjadi cafe dengan ukuran yang tidak terlalu besar, namun sangat meneduhkan pengunjung. Dengan konsep dan sentuhan yang sangat personal dari Banyu dan Helga, kita berhasil dibuat betah berlama-lama di sini. Cuaca dan matahari yang terik terhalang dengan teduhnya pohon-pohon kamboja di sekitar meja. Sebagai pemain baru di bisnis makanan dengan konsep yang unik, tim Burgreens juga berusaha menjaga hubungan personal dengan setiap pelanggannya.


Pemandangan ke dalam dapur
Say Hello! Here you are, the  open kitchen
Interior dengan sentuhan yang personal
Sajian burger yang sangat mengenyangkan dapat dipilih sesuai selera. Mulai dari patty, bun, dan sausnya. Namun jika baru pertama kali ke sini dan penasaran untuk mencicipi ketiga jenis patty sekaligus, Anda bisa memilih menu Mini Trio. Tiga burger mini dengan patty yang berbeda-beda ; Mighty Mushroom, Spinach Chickpeas, dan Battlebeans


Ayo tentukan menu pilihanmu!
Yummy Mini Trio :9 
Untuk sajian minum disediakan pula minuman yang cocok untuk udara Jakarta yang panas. Pesanlah smoothies yang tidak hanya menyegarkan, namun juga menyehatkan; Groovy Berry dengan campuran pisang, strawberry, dan susu kedelai; Cheerish Choco dengan campuran pisang, nanas, susu kedelai, dan dark chocolate ; Green Goblin dengan campuran pisang, nanas, bayam, strawberry, dan plain yoghurt. Yummy! 

Sebagai pecinta dessert, tidak ketinggalan saya pesan 1 scoop raw ice cream, Chunky Monkey. Lengkap sudah! Mengenyangkan sekaligus menyehatkan badan. Saya makan tanpa rasa bersalah sama sekali! :) Hehehe. Selain itu kita bisa juga membawa pulang Homemade Peanut Butter, Rawballs, dan Sweet Potato Chips. Semuanya asli dibuat oleh tangan Chef Max sendiri. Untuk yang suka ngemil seperti saya, sweet potato chips berbahan ubi ungu yang digoreng dengan canola oil ini membuat ketagihan banget! Padahal bumbu yang digunakan tanpa MSG sama sekali.


Chunky Monkey Ice Cream
Sweet Potato Chips
Ingin memuaskan lidah dan perut tanpa rasa bersalah? 

Burgreens dapat ditemui di beberapa festival. Namun jika ingin mencicipi seluruh 'karya' Burgreens dan menikmati suasananya, saya sarankan untuk mampir langsung ke cafe mereka. Waktu favorit saya adalah di sore hari. Angin berhembus semilir dan udara tidak terlalu panas. Di tempat ini tersedia fasilitas wifi jika ingin berlama-lama dan memboyong pekerjaan ke sini. Untuk yang tidak berkendaraan pribadi, Burgreens dapat dengan mudah dijangkau dengan angkot S08 dari arah Terminal Lebak Bulus, dan kemudian turun di depan belokan Jalan Flamboyan (sebelum Giant Supermarket Rempoa dan persis dekat Alfamart). Lalu jalan kaki kira-kira 200 meter lurus ke dalam. Anda dapat temukan Bugreens di sisi kiri jalan.

Had enough junk food? Come over!


Burgreens Organic Eatery & Home Delivery
Jl.Flamboyan no 19

Rempoa, Jakarta Selatan
Tuesday - Friday 12 am - 9pm
Saturday - Sunday 9am - 9pm


Waze: BURGREENS eatery
Facebook Fanpage : Burgreens
Instagram : @burgreens #eatwhatyoucanpronounce


Rabu, 13 November 2013

Menyelisik Air Limbah Rumah Tangga Indonesia

Sanitasi yang tidak memadai di daerah-daerah perdesaan dan perkotaan telah memiliki konsekuensi berat bagi kesehatan dan dampak paling akut pada kaum miskin, yang paling tidak mampu memenuhi kompensasi kurangnya investasi pemerintah. Telah diperkirakan bahwa sanitasi dan higiene yang buruk menyebabkan setidaknya 120 juta jenis penyakit dan 50.000 kematian prematur setiap tahunnya. Dampak yang dihasilkan dari segi ekonomi secara langsung bernilai lebih dari Rp 29 triliun (Rp 3,1 miliar) per tahun, sedangkan kerugian secara keseluruhan diperkirakan mencapai Rp 6,5 miliar per tahun (WSP World Bank, 2008).
Dengan populasi penduduk Indonesia yang mendekati angka 250 juta, Indonesia menduduki urutan ke empat sebagai negara dengan populasi terpadat di dunia. Hampir sebagian dari penduduk tersebut tinggal di kawasan urban (perkotaan) dan sisanya masih di wilayah perdesaan.

Pada kondisi masyarakat pedesaan, kebutuhan masyarakat terhadap jamban masih rendah. Hal ini disebabkan minimnya pengetahuan terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat, yang tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyak yang buang air besar di sungai, kebun, sawah bahkan di kantong plastik yang kemudian dibuang di sembarang tempat.

Paciringan, salah satu sarana buang air masyarakat pedesaan (Dok. Pribadi)
Kondisi lain di masyarakat urban tercermin pada pelayanan air limbah terpusat di beberapa kota besar yang masih menghadapi kendala dalam pengelolaannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat terhadap pelayanan air limbah terpusat dan masih rendahnya kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air limbah terpusat. Dengan tidak adanya investasi pada pelayanan limbah terpusat, sebagian besar infrastruktur sanitasi permukiman terletak di rumah tangga masing-masing. 

Kondisi saluran drainase di salah satu permukiman terpadat ; Cicadas, Bandung. (Dok. Pribadi)
Sekitar tiga perempat penduduk perkotaan telah memiliki toilet dan pengolahan limbahnya secara pribadi, namun regulasi dan pengawasan pemerintah yang masih sangat lemah mengakibatkan jumlah rumah tangga yang membuang limbahnya dengan aman masih sedikit sekali. Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan pelayanan untuk mendukung kualitas lingkungan.

Kondisi perumahan padat di bantaran sungai wilayah Cicadas, Bandung (Dok. Pribadi)
Saluran limbah rumah tangga yang mengalir langsung ke sungai. (Dok. Pribadi)
Banyak rumah tangga berada di daerah yang tidak memiliki drainase yang memadai. Di beberapa kota, peristiwa banjir bahkan sudah menjadi hal yang biasa terjadi. Kehadiran sejumlah besar limbah dan sampah yang tidak terkumpul memperburuk masalah jaringan drainase. Di sebagian wilayah, saluran air limbah masih bercampur dengan saluran drainase. Air limbah yang dimaksud adalah air limbah permukiman (municipal wastewater) yang terdiri atas air limbah domestik (rumah tangga) yang berasal dari air sisa mandi, cuci, dapur dan tinja manusia dari lingkungan permukiman dikategorikan sebagai limbah domestik. Berikut ini adalah gambaran kondisi akibat penyalahgunaan fungsi drainase dalam sebuah kota.

Drainase Jalan Ir.H. Juanda Dago, Bandung saat hujan. (Dok. Pribadi)
Akibat sarana street inlet tidak berfungsi, jalan protokoler layaknya seperti sungai. (Dok. Pribadi)

Sanitasi yang buruk identik dengan wilayah permukiman yang padat, kumuh, dan miskin (pakumis). Dalam kasus di Indonesia, hampir sebagian besar kota di negara ini tidak memiliki batasan perbedaan area permukiman kumuh yang jelas. Penduduk dengan ekonomi yang lebih tinggi hingga yang rendah terkadang berada dalam satu lingkungan yang sama dan urusan sanitasi yang buruk menjadi persoalan bersama. Tidak ada jaminan bahwa rumah dengan fisik yang cenderung mahal terfasilitasi sarana sanitasi yang memadai. Maka dari itu, menyelesaikan permasalahan sanitasi ini tidak dapat dipandang sedikit demi sedikit, tetapi harus melihatnya secara keseluruhan. Air limbah permukiman ini perlu dikelola agar tidak menimbulkan dampak seperti mencemari air permukan dan air tanah disamping sangat beresiko menimbulkan penyakit seperti diare, thypus, kolera dan lain-lain.

Apa yang bisa kita usahakan di tempat tinggal masing-masing?

Selama pemerintah masih berbenah diri dalam menyelesaikan permasalahan limbah terpusat baik dari segi infrastruktur dan regulasi, opsi eskalasi teknologi pengolahan limbah di rumah tangga masing-masing bisa menjadi alternatif solusi. Paradigma sarana sanitasi yang memadai terkotak-kotakan dengan sarana yang canggih dan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Selain itu sarana pengolahan limbah identik dengan penurunan nilai estetika dan bau yang tidak sedap sehingga mengganggu aktivitas kegiatan di sekelilingnya. Namun lain halnya dengan sistem yang memanfaatkan proses alami seperti yang disebut sistem Sanitasi Taman (Sanita), hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat menjadi salah satu jalan keluar permasalahan ini.

Apakah itu Sistem Sanita?

Sistem Sanita adalah sebuah siklus yang mengolah tinja dan urine manusia sebagai sumber daya dengan memanfaatkan kapasitas tumbuh-tumbuhan untuk mereduksi sisa bahan pencemar. Tinja berproses sampai terbebas dari mikroba patogenik, tinja yang telah tersanitasi disiklus ulang untuk keperluan pertanian (pemulihan dan penggunaan kembali nutrisi). 

Sistem sanita memberikan manfaat dari berbagai aspek, yaitu di antaranya selain mengendalikan limbah cair agar tidak mencemari badan air atau lingkungan, memperbaiki kualitas air tanah dan air permukaan, sistem ini juga menciptakan keasrian lingkungan permukiman, mendukung kesuburan tanah dengan pengolahan sistem ekosan (Ekologi Sanitasi), dan membantu upaya pelestarian lingkungan. Dari hasil penelitian puslitbang, sistem sanita terbukti dapat mereduksi Zat Organik (BOD) sebanyak 97,7%, bakteri Fecal Coliform  99,98 %, dan total Nitrogen & Phospat 75%.

Gambaran Penerapan Sistem Sanita (Sumber : Web Balitbang PU)
Sistem sanita adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan. Batasan yang dimiliki sistem ini adalah dibutuhkan ketersediaan lahan yang cukup. Untuk perumahan yang masing-masing rumahnya memiliki halaman dapat memanfaatkan sistem ini untuk mempercantik halaman rumah dan sekaligus memberikan nutrisi pada tanaman yang dimiliki. 

Hidup sehat didukung dari lingkungan yang sehat. Ke mana larinya air limbah rumah Anda?

Minggu, 11 Agustus 2013

Benang Kusut

Saya punya gulungan benang. 

Mau dijadikan apa ya? Baju? Syal? Ah baiklah mari saya tulis dulu. Wah, ada tumpukan ide rupanya. Seharusnya gulungan ini akan jadi banyak hal besar nantinya. 


Mau mulai menjahit, tapi si benang rupanya tidak kooperatif. Untaian benang yang tidak tersambung sama sekali pun bisa jadi saling menempel satu sama lain. Menyerah, lalu mencoba "menutupi" kepusingan dengan memilih menggunakan benang lain yang cenderung tergulung dengan rapi. Mudah, tidak bercelah. 

Tapi toh si benang kucut ini masih ada, menunggu untuk diurusi. Ah, bukannya si benang tidak kooperatif. Mana mungkin ia meluruskan dirinya sendiri. Si empunya yang seharusnya bertanggung jawab.

Baiklah, itu cuma benang dan itu milikmu sendiri. Saya jamin seratus persen pasti akan kau temukan ujung sama ujungnya. Telaah lebih dalam, maka kau akan dapatkan untaian benang panjang, lalu mari jahit seperti yang kau mau. Mungkin ada titik di mana harus kau gunting, dibuat jadi beberapa bagian yang memudahkanmu, atau kau buang sisi kusut itu. Itu pilihanmu. Hanya kau yang bisa kerjakan itu. Sendiri.

Otak kadang rasanya seperti benang kusut. Seakan-akan segala hal menjadi penting, timbunan hal yang harus dikerjakan, mimpi besar, ide yang tidak pernah habis, tuntutan, kebutuhan, belum lagi dari soal kewajiban hingga ego pribadi. 

Tuhan menciptakan manusia dengan nikmat sabar. Dan sabar itu lahirnya dari hati yang ikhlas. 

Hati, tolong bantu otak mengurai benang kusutnya, ya? Kalau tidak, tumpukan ide untuk menyulap si benang menjadi hal-hal besar cuma jadi angan-angan.

Mau tidak?

Ya, saya mau. 

Minggu, 04 Agustus 2013

Cerita Beberes Rumah : Inspirasi Dari Setumpuk Undangan Bekas

Hore! Sudah memasuki masa libur Lebaran!

Bicara soal hari libur, bisa dikatakan hampir setiap libur akhir pekan, waktu kedua orang tua saya habis untuk menghadiri berbagai acara pernikahan. Bahkan terkadang saling bentrok satu sama lain. Pilihannya bisa dengan menghadiri keduanya secara bergantian atau dihadapkan pada pilihan untuk menghadiri salah satu yang dianggap lebih diprioritaskan untuk dihadiri. Saya tidak bilang yang lainnya tidak penting, tapi bisa diukur dari kedekatan hubungan hingga jarak tempuh menuju gedung resepsi pernikahan. 

Kalau sudah di rumah dan ibu saya pun sudah memasuki masa cuti, pasti ada satu agenda yang tidak pernah absen (selagi tidak ada acara lain di luar), yaitu adalah beberes rumah!

Oh baiklah, rupanya ada satu kardus berisi barang antah berantah di sudut dekat piano. (Mulai sisingkan lengan)

Kami berdua sama-sama mengambil posisi untuk memilih dan memilah isi kardus itu. Dan ini dia! Sebagian besar isinya adalah bertumpuk-tumpuk undangan resepsi pernikahan. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, bahwa kedua orang tua saya "hobi"nya setiap akhir pekan menghadiri undangan-undangan ini. Kami mengambil satu kardus yang ukurannya lebih kecil untuk memisahkannya.

Kami terbiasa untuk memanfaatkan bekas barang yang tampak potensial untuk dibuat sesuatu. Paling sederhana yang biasa ibu saya lakukan adalah memotong motif-motif yang biasa ada di sisi tertentu lembar undangan, lalu dimanfaatkan sebagai pembatas buku. Namun kami kesulitan menemukan ide untuk memanfaatkan bentuk undangan dengan kertas-kertas tebalnya menyerupai tripleks, dari yang sederhana sampai yang "wah". Dari yang hanya menggunakan bahan dasar kertas hingga kain beludru.


Salah satu contoh undangan berbahan tebal. Yang seperti ini hanya berakhir di tempat sampah

Contoh potongan lembar undangan untuk dijadikan pembatas buku

Melihat bekas-bekas undangan ini sambil memasukannya ke kardus membuat saya banyak berpikir akan dikemanakan sampah-sampah ini. Sebenarnya jika dicari pasti ada beberapa oknum pengusaha yang mulai memanfaatkan sampah-sampah sisa undangan ini. Namun banyaknya saya rasa tidak berbanding lurus dengan jumlah resepsi pernikahan yang berlangsung di dalam sebuah kota.

Tumpukan undangan yang siap disisihkan

Mungkin belum menjadi sebuah pertimbangan utama dalam mendesain sebuah kemasan (saya katakan ini sebagai sebuah kemasan, penampilan luar), mengenai bagaimana keberlanjutan bahan yang digunakan itu akan berakhir. Dalam hal ini adalah sebuah desain undangan, yang saya rasa tidak semuanya dapat terolah dengan mudah. Mungkin lain ceritanya jika infrastruktur pengelolaan sampah di negara kita ini sudah benar-benar mumpuni dan masyarakatnya siap dengan sistem yang diberlakukan, sehingga sampah bukan lagi menjadi tumpukan masalah. 

Saya jadi teringat bentuk undangan pernikahan kakak perempuan saya tahun lalu. Kami sekeluarga sepakat untuk menggunakan lembaran cenderung tipis, tidak mengkilat, dengan desain sederhana namun tetap ada detil yang menjadi keinginan calon mempelai laki-laki dan perempuan. Tanggapannya macam-macam rupanya. Sebagian besar mungkin bertanya-tanya mengapa penggunaan bahan undangannya begitu sederhana?

Kemasan itu penting. Sebagian besar orang menilai niat dan besar/tidaknya acara itu dari tampilan awal, yaitu sebuah undangan. Tetapi mungkin kita dipaksa untuk berpikir lebih kreatif lagi dalam mendesain sesuatu, melihatnya dari berbagai aspek, yaitu : ekonomi, lingkungan, dan estetika.


Hahaha. Bicara soal temuan dari beberes rumah pikiran saya jadi ke mana-mana. Saya pribadi memutar otak sambil memilah tumpukan undangan ini. Akhirnya saya memisahkan sebuah potongan kain hijau dari hiasan ikat sebuah undangan dan selembar amplop undangan untuk saya "jodohkan" dengan buku agenda saya :) Hore!


Potongan kain ditemukan dalam keadaan lecek. Disetrika terlebih dulu supaya rapi dan mudah digunakan :)

Memanfaatkan potongan lembar undangan yang polos

Kain yang sudah disetrika dipotong-potong sesuai ukuran buku

Voila! Jadilah buku agenda saya bersampul kain ini. Warnanya pas dengan pita pembatas bukunya!

Bagian dalam agenda, seperti biasa sama seperti tahun 2012 lalu

Sisi dalam bagian belakang, untuk menyelipkan kertas-kertas kecil

Berpikir panjang sebelum mendesain sesuatu, supaya ujung-ujungnya tidak hanya jadi tumpukan sampah tidak berarti. Kalau sudah terlanjut ada, yuk putar otak dan manfaatkan sisa-sisa barang yang ada.

Minggu, 21 Juli 2013

Debar-Debar di Angkot

Mungkin agaknya cukup berlebihan kalau saya katakan bahwa jantung saya selalu berdebar-debar di kala detik-detik angkot yang saya naiki akan melewati tempat saya berhenti.

Siap-siap. Yak... sebentar lagi... (sambil sibuk merogoh-rogoh uang kecil di saku) 

"Kiri!" teriak saya dari kursi penumpang.

Seribu lima ratus atau dua ribu ya? 

Akhirnya saya putuskan cari aman. Saya ambil lembaran dua ribuan dan saya berikan ke Mang angkot melalui si jendela tanpa kaca. Saya perhatikan lekat-lekat. Kemudian keping lima ratus rupiah berpindah tangan ke tangan saya.

Alhamdulillah, masih seribu lima ratus!

Di lain waktu, dengan sopir yang berbeda dan/atau jurusan angkot berbeda, si sopir bisa dengan ketus memandang remeh lembaran uang yang saya berikan dan menagih paksa, "Seribu lagi, Neng!"

Aah.. Naiknya sampai dua kali lipat?! Pikir saya sambil menahan kesal di dalam hati.


Fenomena ini pasti dirasakan semua pengguna angkot. Secara luasnya adalah untuk semua bentuk angkutan umum dengan tarif yang tidak pasti. Dalam hal ini saya bicara angkot, sebagai moda transportasi yang sehari-hari paling sering saya gunakan. Perasaan berdebar-debar ini pun saya rasakan manakala saya gunakan angkot ke jurusan yang tidak pernah saya lewati maupun di kota yang tidak pernah saya tinggali. 

Belajar dari pengalaman

Prinsip saya hanya itu. Dari beberapa kali menaiki sebuah angkot jurusan tertentu, saya akan semakin paham kisaran tarifnya.

Kenaikan tarif yang tidak diprediksi

Semenjak peristiwa kenaikan BBM, perasaan berdebar-debar ini semakin menjadi-jadi. Beberapa angkot menaikan tarif dengan cukup realistis, namun ada pula yang saya nilai cukup berlebihan dan membuat si sopir angkot harus bersitegang dengan beberapa penumpangnya. Saya pilih tidak cari masalah, saya ikuti saya permintaan si Mang angkot.

Ya.. hitung-hitung nambah penghasilan si sopir.

Bukan, bukan soal ketidakikhlasan saya merogoh tambahan seribu bahkan dua ribu perak untuk ongkos sehari-hari. Namun ketidakpastian tarif ini untuk semua angkutan umum di Indonesia saya rasa menjadi sebuah ketidaknyamanan yang cukup krusial untuk bepergian ke manapun, juga sangat tidak ramah bagi orang-orang baru.

Semoga kelak seluruh sopir angkutan umum di Indonesia mendapat nominal penghasilan tetap yang layak dan seluruh angkutan umumnya memiliki tarif yang pasti! Aamiin!

Positifnya, jantung saya terlatih dengan setiap rasa deg-degan sebelum membayar ongkos angkutan. Hahaha..

Kamis, 04 Juli 2013

Aksi Afirmasi, Niat Mulia Memajukan Pendidikan Papua

Ini adalah artikel singkat yang saya sebar ke teman-teman di kampus, mengenai ringkasan cerita program afirmasi Papua, di mana beberapa mahasiswa program ini di antaranya masuk dan belajar dalam lingkungan kampus saya. Semoga cukup memberi pencerahan mengenai salah satu program usaha pengembangan dan pemerataan pendidikan di Indonesia!

Mari saya mulai dengan definisi afirmasi. Afirmasi menurut KBBI:

afir·ma·si n 1 penetapan yg positif; penegasan; peneguhan; 2 pernyataan atau pengakuan yg sungguh-sungguh (di bawah ancaman hukum) oleh orang yg menolak melakukan sumpah; pengakuan

Sedangkan definisi secara filosofisnya dapat dilihat di pemaparan berikut ini.
Affirmative action means positive steps taken to increase the representation of women and minorities in areas of employment, education, and business from which they have been historically excluded. When those steps involve preferential selection—selection on the basis of race, gender, or ethnicity—affirmative action generates intense controversy. (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

Berdasarkan definisi yang dimiliki oleh Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B), Affirmative Action adalah kebijakan yang diambil dengan tujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Hal ini bertujuan sebagai keberpihakan terhadap terhadap Orang Asli Papua.
Secara nasional, Tahun 2012 ini Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua Barat berada di peringkat 29 dan IPM Provinsi Papua menempati urutan 33 dari 33 provinsi  di Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan semua pihak untuk memberikan kesempatan dan keberpihakan kepada orang asli Papua dalam segala hal. "Memberikan peluang bagi putra-putri Papua untuk jadi pemimpin dan diutamakan dalam semua hal. Kebijakan saya itu masih berlaku dan saya minta diperbaiki lagi," hal ini disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didepan ratusan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Nusantara di Universitas Cenderawasih Jayapura, pada Senin, 22 November 2010.

Program keberpihakan bidang pendidikan merupakan amanat pasal 56 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua, yang menyatakan bahwa “Setiap penduduk berhak memperoleh pendidikan yang bermutu dengan beban masyarakat serendah-rendahnya”.

Permasalahan di Papua yang sangat kompleks dan mendasar mendorong pembuatan Peraturan Presiden yang dapat melakukan percepatan pembangunan di Papua.

Sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (P4B) dan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) menyatakan antara lain tugas pokoknya adalah: “Memberikan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia dalam koordinasi, sinkronisasi, fasilitasi serta pengendalian dan evaluasi pelaksanaan program percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.” Pembentukan UP4B didasari pada kondisi objektif yang terjadi saat ini di Provinsi Papua dan Papua Barat.

UP4B merupakan suatu lembaga setingkat menteri yang tugasnya melakukan koordinasi, sinkronisasi dan fasilitasi program perencanaan pembangunan dengan Kementerian/Lembaga terkait termasuk didalamnya memfasilitasi tersedianya kuota bagi putra/putri asli Papua untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua James Modouw menyatakan, program afirmasi diprakarsai UP4B ini bertujuan mulia dalam rangka meningkatkan pendidikan di Papua yang masih tertinggal. Salah satu penyebab karena pendidikan dasar dan menengah masih berantakan, minat guru bertugas di daerah terisolasi masih rendah, sarana dan prasarana juga masih terbatas. Itulah yang menjadikan lemahnya daya saing putera-puteri Papua ketika mereka harus memasuki perguruan tinggi negeri.

Para mahasiswa asal Papua direkrut melalui kerjasama Direktur Jendral Perguruan Tinggi (PT). Jumlah peserta keseluruhan sebanyak 747 calon mahasiswa. Mereka adalah yang telah lolos dan memenuhi persyaratan. Kuota yang tersedia sebanyak 1016 kursi di perguruan tinggi negeri seluruh Indonesia dan telah mendaftar sebanyak 918 calon mahasiswa.

Mahasiswa-mahasiswa ini tersebar di 31 Perguruan Tinggi Negeri ternama di Indonesia dan difasilitasi UP4B mendapat beasiswa dari DIKTI sebesar sebesar Rp 600-800 ribu/bulan. Jatah hidup ini atas bantuan Dikti untuk biaya hidup selama enam bulan. Jumlah tersebut belum termasuk biaya kuliah selama 4 tahun yang diberikan gratis. Selanjutnya biaya hidup diharapkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan orang tua.

Peranan dan dukungan dari pihak orang tua/ wali atau keluarga besar dari mahasiswa/i sangat dibutuhkan untuk memenuhi biaya bagi 569 orang mahasiswa yang kini sudah memulai kuliah tahun ajaran 2012/2013 dengan berbagai program studi itu sudah tersebar di 31 perguruan tinggi negeri Indonesia di luar provinsi Papua dan Papua Barat.

Institut Teknologi Bandung adalah salah satu perguruan tinggi penerima mahasiswa afirmasi Papua 2012/2013 yang pada awalnya berjumlah 15 orang. Bagaimana cerita saudara-saudara Papua kita di kampus gajah ini? Cerita selengkapnya akan disajikan pada tulisan berikutnya :)


Sumber :
http://www.up4b.go.id/

Minggu, 16 Juni 2013

Pendidikan Anak Nusantara


Ceritanya saat ini saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk memperpanjang waktu abdi saya di kampus. Bidang saya saat ini menerjunkan saya untuk menyelami hal yang sebelumnya hanya saya dengar dan amati ceritanya dari orang-orang di sekeliling saya, yang mana mereka adalah sekelompok pemerhati dan aktivis pendidikan. Saya hanya sebagai pendengar. Tapi saat ini saya bisa berceloteh sendiri, atas apa yang saya lihat dan saya rasakan.

Pendidikan

Wawasan nusantara

Atas sebuah usulan program Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), sekitar 500an putra-putri Papua dikirimkan untuk belajar di 31 universitas tersebar di Indonesia. Direktorat jenderal pendidikan tinggi (Dikti) sebagai eksekutor menyerahkan kepercayaannya pada Pemda setempat untuk melakukan proses seleksi. Kuota yang diberikan sejumlah 1000 kursi, namun pendaftar hanya berkisar 700 anak. Alhasil seluruh pendaftar diterima. Namun hanya yang mendaftar ulang yang tetap melangsungkan proses ini. 

Berawal dari perkenalan saya dengan salah seorang putra daerah asal Yalimo, Papua. Namanya Mewan. Yalimo kedengarannya sangat asing di telinga saya. Rupanya untuk mencapai kampungnya, selain menaiki pesawat Jakarta-Jayapura-Wamena dan mobil,  Mewan masih harus berjalan kaki 1 hari untuk sampai ke rumahnya! Mewan adalah salah satu dari kawan-kawan Papua yang mulai tahun 2012 lalu mengecap pendidikan tinggi di kampus ITB.

Kampus saya menerima 11 putra Papua dari daerah berbeda-beda untuk jurusan sipil, elektro, dan mesin. Namun hingga saat ini hanya 6 anak yang bertahan dan masih terjaga komunikasi dan komitmennya. Ketiga jurusan tersebut dipilihkan oleh Pemda Papua dengan harapan dapat menjadi bekal untuk kembali dan membangun kampung halamannya. Anak-anak ini diterjunkan dalam kurikulum Tahap Persiapan Bersama, tanpa perlakuan khusus, kecuali pendampingan tutor dari beberapa mahasiswa yang sifatnya sukarela. 

Materi kuliah tahun pertama yang sama sekali tidak mudah, perbedaan kultur, dan kondisi lingkungan yang jauh berbeda tentu menjadi hal yang asing bagi mereka. Maka tidak perlu heran ketika indeks prestasinya nyaris 0, jika tidak terbantu oleh mata kuliah olahraga. Baik secara akademik maupun psikologis, mereka belum siap dan tidak disiapkan.

Mereka hanyalah segelintir anak dari ribuan, bahkan jutaan kawan kita yang tidak mengecap pendidikan formal berkualitas di kota. Saya semakin miris dibuatnya ketika saya berkesempatan mengunjungi Surya Institute, sekolah di bilangan Serpong dengan program khusus hasil kerjasama dengan Pemda Papua. Tidak jarang ditemukan anak-anak seumuran dengan saya namun tidak mengenal huruf, angka, mengenal angka hanya 1-4, bahkan turus!

Sedikit gambaran mengenai kondisi pendidikan masyarakat Papua, di mana tingkat buta huruf masyarakat masih mencapai 39,23% (BPS,2012). Sedangkan untuk angka partisipasi sekolah pada tingkat perguruan tinggi masih sangat minim, 13,92% untuk Provinsi Papua dan 19,31  untuk Provinsi Papua Barat. Secara keseluruhan, hanya 13,54% masyarakat Indonesia yang mengecap pendidikan hingga level perguruan tinggi. Hal ini pun terdesentralisasi di wilayah perkotaan, khususnya Pulau Jawa. Saya baru bicara 1 daerah. Dan masih banyak belasan ribu pulau, 300 suku, puluhan juta penduduk yang jadi tanda tanya besar soal pendidikannya.

“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah "dosa" setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.” 

Di sini kecintaan saya pada bangsa ini diuji. Peta Indonesia yang terpampang di tembok kamar sebagai dorongan cita-cita mengelilingi tanah air dan ilmu yang diserap dalam rangka mengenali bangsa ternyata masih jauh dari maknanya.

Terima kasih, ya Allah karena telah memberikan kejutan, jalan untuk berbagai petualangan seru di hidup saya untuk kembali mengingat makna syukur.


Rabu, 03 April 2013

Toothless on Canvas


Terakhir kali saya menyentuh cat minyak saya adalah ketika saya melukis topeng tahun lalu. Sudah lama dan rindu rasanya  corat-coret di atas kanvas!

Buat saya ada kepuasan lebih dan tidak ternilai ketika memberikan hadiah dari hasil tangan sendiri, apalagi sesuai dengan hal yang saya sukai. Kali ini saya beride untuk membuat sebuah gambar. Berhubung si penerima hadiah adalah pecinta hewan fantasi naga, akhirnya saya memutuskan untuk menantang diri saya menggambar hewan yang belum pernah saya gambar ini. 

Toothless adalah tokoh naga di film animasi How to Train Your Dragon. Beruntung, karena si tokoh ini bukan semacam naga mengerikan seperti di tato pada kulit mas-mas berotot. Hehehe. Jadi saya tidak perlu pakai emosi untuk menghadirkan seekor naga yang sedang marah dan mengeluarkan api serta taring dari mulutnya. Hiii. 

Pertama, saya pelajari anatomi tubuh si naga ini. Ooh baiklah, ada sayap, telinga, ekor, cakar, dan detail ini itu di sekujur tubuhnya. Saya awali dengan mencoret-coret di kertas terlebih dahulu, lalu akhirnya memberanikan diri di atas kanvas. Awalnya sulit juga mendapatkan bentuk tubuh yang proporsional.

Saya tidak banyak menggunakan warna. Hanya paduan hitam dan putih untuk badannya, lalu paduan warna biru dan putih untuk langit, dengan campuran sedikit merah dan kuning.

Tantangan tersulit adalah bagian mata! Ada paduan hijau, kuning, hitam, dan titik putih, di mana ukurannya keciiil sekali. Maka saya gunakan ujung belakang kuas untuk mewujudkan detail matanya.


Proses corat-coret
Voila!

Toothless, The Dragon! Rasanya senang bukan main bisa mewujudkan tokoh animasi ini di atas kanvas! :) Hore!

Toothless

Rabu, 27 Maret 2013

Cerita Hujan


Tidak ada yang bisa menandingi kecintaan saya pada hujan. Panas seakan-akan hilang, terguyur oleh sejuknya hawa di kala hujan.

Hujan dan Bandung

Dua paduan sempurna. Menikmati hujan di Kota Bandung itu mahal buat saya. Maka jika hujan turun, saya selalu merindukan momen bersantai untuk menikmatinya. Tinggal dilengkapi dengan secangkir minuman hangat, buku bacaan, ataupun teman bicara, maka momennya menjadi sesempurna itu. Saat saya menulis ini pun cuaca sedang hujan. Tepat di hadapan saya si hujan beraksi. Saya sangat bersyukur dapat menikmati hawa dingin, suaranya, sampai wangi si tanah basahnya. Dan hal sesederhana ini pun mampu menenangkan dan menjernihkan hati.

Banyak orang meyakini dan punya padangan bahwa hujan adalah rezeki. Bahkan ada golongan tertentu yang meyakini bahwa hujan di awal tahun adalah bentuk pertanda baik sepanjang tahunnya. Bagaimana tidak? Air adalah sumber kehidupan dan Tuhan menurunkan itu untuk semua makhluk ciptaannya secara cuma-cuma! Nah lantas bagaimana ketika hujan tidaklah jadi sebuah peruntungan, bahkan sesuatu yang dihindari? 

Ceritanya Senin (25/03/13) malam lalu, saya dan teman saya diundang mengisi sesi mimbar kampus di Pikiran Rakyat FM. Tema kali itu adalah mengenai Banjir di Kota Bandung. Sebelumnya pun saya pernah ditelepon langsung untuk mengutarakan sedikit pandangan saya ketika banjir yang melanda Bandung Selatan yang lalu.

"Persoalan banjir sudah menjadi masalah dari dulu, apakah isu ini akan tetap menjadi isu yang cukup seksi untuk dibahas?"

Si penyiar melontarkan pertanyaan ini pada kami di akhir siaran. Sebenarnya tujuan pertanyaan menjurus ke isu yang akan ditawarkan oleh calon walikota Bandung, tapi saya tidak mau membahas bagian itu. Baiklah, jawabannya tentu saja iya. Hal ini sudah menjadi isu yang selalu ada tiap tahunnya. Kalau kita ketahui beberapa tahun belakangan ini, isunya juga adalah Bandung krisis air. Miris! Kenyataannya jalan-jalan protokoler di Kota Bandung ini sendiri pun seketika bisa berubah menjadi sungai dadakan, yang biasa disebut dalam istilah sunda sebagai banjir cileuncang, lalu kawasan Bandung Selatan 'hobinya' jadi danau dadakan jikalau diguyur hujan lebat. 

Dan limpahan air itu terbuang sia-sia.

Hujan yang seharusnya menjadi rezeki yang patut disyukuri, namun saat ini seolah-olah semua orang mengutuk si hujan ini. Tuhan melimpahkan hujan dan manusia selayaknya menyediakan 'wadah' yang layak sehingga bisa menikmatinya. Namun yang terjadi adalah si limpahan air lari begitu saja, atau bahkan menenggelamkan harta benda manusia. Sesuatu yang berlebihan, apalagi tidak didukung lingkungan yang mampu mengatasinya, akan jadi malapetaka.


Jadilah hujan adalah sebuah kutukan.


"Yah... hujan deh"


Begitu yang sarat di telinga saya ketika hujan datang. Hmmm... Kapan ya hujan dan manusia bisa selalu bersahabat?


Kamis, 07 Februari 2013

Doa datangnya dari mana saja

Ceritanya baru beberapa menit yang lalu, ketika tidak biasanya saya pulang lebih awal. Saya menggunakan angkot ungu langganan saya dari kampus menuju ke kosan.

Saya naik dari depan gerbang kebun binatang. Angkot diisi oleh sekitar 4 orang. Tepat di depan gerbang belakang ITB, angkot ini ngetem. Berhubung tidak diburu waktu, saya santai saja menunggu sambil mengetik beberapa SMS di telepon genggam saya. 

Seorang kakek berambut putih masuk ke dalam angkot. Setelannya santai, menggunakan kaus dan celana bahan, lengkap dengan topi. Kisaran usianya sekitar 70an dan sudah menggunakan tongkat. Agak kepayahan beliau masuk, tanpa sengaja barang bawaannya menyenggol tas berisi laptop yang saya jinjing.

"Waahaduh, maaf ya." ujarnya spontan dengan suara agak serak, khas kakek-kakek. Saya balas dengan senyum dan anggukan.

Mengamati tas bermotif saya, beliau menebak, "Kalau saya liat dari tasnya, kamu anak seni rupa ya?"

"Oh, bukan, Pak." sambil tetap tersenyum

"Jurusan apa kalau gitu? Eh sekarang di ITB namanya program studi ya?"

"Teknik Lingkungan, Pak"

"Wah setiap saya tanya anak yang seangkot sama saya, banyak juga ya anak Teknik Lingkungannya. Udah mau lulus ya?"

"InsyaAllah sih mau Oktober ini, Pak, " saya balas dengan senyum (lagi).

"Kalau Teknik Lingkungan, nggak ada yang ngurusin lingkungannya luar angkasa, ya?" ujarnya sambil sedikit tertawa.

"Hehehe, nggak tuh, Pak"

Lalu berlanjut dengan cerita singkat beliau mengenai obrolannya dengan Pak Emir Salim, mengenai kerusakan alam Indonesia. Mulai dari situ, berlanjut dengan topik lainnya, yaitu harga kos-kosan zaman sekarang hingga sedikit cerita tentang zamannya dulu, ketika pribumi adalah warga negara kelas 2.

"Orang dulu selalu membangga-banggakan zamannya dulu, tapi kalau saya tanya mau kembali ke zaman itu atau tidak, jawabannya pasti tidak. Kenapa? Ya karena dulu perbedaan hak pribumi-Belanda sangat berbeda. Gaji, bahkan gerbong saja dibedakan. Pernah kakek saya iseng beli tiket putih yang harusnya untuk gerbong Belanda, lalu santai aja dia duduk di gerbong itu. Kondekturnya, kulitnya coklat juga padahal, pribumi juga sama dengan dia, datang dan ngusir kakek saya itu." 

Sepertinya seisi angkot ikut menyimak.

"Ada ruangan yang tulisannya 'Pribumi dan Anjing dilarang masuk'. Bagaimana nggak sakit hati?"

Rute kami pendek, jarak kampus-Cisitu hanya dilewati 10 menit lamanya. Saya sempat menanyakan tempat tinggal beliau berhubung kami satu arah, dijawab hanya dengan tunjukan tangan, namun kata beliau ia mau mampir makan dulu.

"Kiri payun, Pak. Saya mau makan dulu di situ," katanya sambil sibuk meluruskan kaki dan merogoh uang receh dari saku celananya.

"Saya duluan ya. Semoga lancar lulusnya, ya" pesannya sambil berusaha berdiri dengan tongkatnya, menepuk lutut saya perlahan, dan melangkah turun dari angkot. Disampaikannya doa itu dengan sangat jelas.

"Wah, aamiin. Ati-ati, Pak!"

Dan angkot saya pun melaju terus, mengantarkan saya hingga di depan kosan. Sebuah hal kecil yang membuat suasana hati saya jauh lebih baik.

Rezeki datang dari mana saja. Doa adalah rezeki.

Alhamdulillah :)