Senin, 15 Desember 2014

Bang Onte : Kuantita Kejiwaan Dari Alam


(Bandung, 13/12) Simpul Space BCCF pagi itu diwarnai dengan gelak tawa sekumpulan orang yang asik mendengarkan celotehan Bang Silverius Oscar Unggul (43), yang akrab disapa Bang Onte. Social Inovators Talk ke 4 kali ini mengundang beliau untuk berbagi kisahnya dalam membentuk internal organisasi yang kuat. Selama hampir 2 jam lamanya kami diasupi cerita-cerita perjuangan Bang Onte dan 8 kawannya dalam membangun visi menyelamatkan hutan Indonesia.

Bang Onte, pria kelahiran Kendari Sulawesi Tenggara ini adalah peraih Social Entrepreneur of The Year 2008, Ernst & Young, Schwab Foundation. Berawal dari perjuangannya di masa kuliah sebagai seorang pecinta alam, beliau dan kawan-kawannya membentuk organisasi Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) di kampusnya. Dari tempaan dan persahabatannya yang begitu erat dengan alam, Bang Onte benar-benar dimanjakan dengan warga-warga di pelosok Indonesia yang begitu baik. Sampai akhirnya Bang Onte berkesimpulan bahwa orang-orang akan berperilaku baik seiring dengan alamnya yang masih terjaga. Maka tidak heran ketika alam rusak akan berpengaruh negatif pada masyarakat di sekitarnya.

Bagaimana cara membantu orang-orang yang alamnya masih baik?
Bagaimana mengembalikan alam yang sudah rusak?

Yayasan Pecinta Alam (Yascita)

Sambil menahan geli, peraih Skoll Award for Social Entrepreneurship 2010 ini menceritakan asal muasal terbentuknya LSM buatannya dengan 7 kawannya. Ia melihat senior-senior kuliahnya yang sudah lulus bolak-balik menraktir makan ketika main ke kampus. Ditanya kerja apa, katanya di LSM. Bang Onte berkesimpulan :

Oh, kerja di LSM banyak duitnya

Dengan motivasi menyelamatkan alam dan gambaran finansial LSM yang menggiurkan,  tahun 1995 dibentuklah Yascita oleh 8 orang nekat ini. Rupanya setelah menjalani bidang pekerjaan di LSM yang mereka bentuk, angan-angan tentang LSM di awal buyar seketika. Selama 4 tahun mereka mencoba bertahan dalam kesempitan. Tetapi setiap merasa kesulitan, mereka akan kembali ke alam. Mereka percaya, bahwa alam akan membentuk kita menjadi pribadi yang tangguh. 


Dari alam, Bang Onte mendapat pelajaran besar berupa kuantita kejiwaan : semangat pantang menyerah, semangat rela berkorban, semangat kebersamaan, dan semangat kekeluargaan.

Di sela-sela waktu, Bang Onte menggunakan berbagai cara untuk tetap menumbuhkan semangat timnya, di mana salah satunya adalah menuliskan target dan optimisme di papan setiap awal bulan, meskipun pada akhirnya seringkali target tersebut tidak berbuah hasil. 

Akhirnya setelah penantian 4 tahun, Yascita mendapatkan proyek pertama mendokumentasikan foto hutan yang rusak. Tidak puas dengan yang dikerjakan, Bang Onte sempat sampai di titik hampir putus asa. Namun niatnya dibatalkan oleh kejadian kebetulan yang menyadarkannya bahwa meninggalkan warisan harta itu jauh tidak seberapa dibanding meninggalkan nama baik. Itulah yang dilakukan ayah Bang Onte dalam menjalankan amanahnya di kantor pemerintahan.


Radio dan TV lucu-lucu

Berpikir di tengah kondisi yang susah akan menumbukan kreativitas yang luar biasa! Pengalaman yang menjadi sentilan kecil itu menumbuhkan semangat dan ide besar. Karena sulitnya menyebarkan informasi lewat media massa pada zaman itu, di tahun 2000 8 orang ini beride gila membangun sebuah radio, Radio Swara Alam namanya. Pemancarnya dikaitkan ke pohon. Makin lama makin tinggi pemancarnya seiring dengan tumbuhnya pohon. Tapi jangan kaget kalau musim hujan tidak bisa siaran karena pemancarnya ikut tergoyang angin ribut. Berawal dari 10 pendengar hingga akhirnya berkembang dan menimbulkan ide baru untuk membangun stasiun TV pada tahun 2002. 

Kendari TV dijuluki sebagai "TV Lucu-Lucu" karena pengemasannya tidak seperti layaknya TV lain. Ketika sudah mampu menjadi perusahaan radio dan TV, Bang Onte dengan bangga mengundang para LSM untuk studi banding. Melihat kesederhanaan stasiun radio dan TV itu, mereka dicemooh. Namun rupanya Bang Onte punya alasan mengapa stasiunnya yang tampak "main-main" itu menjadi sasaran studi banding.

"Supaya kawan-kawan optimis bisa bikin seperti kami-kami ini. Kalau lihat stasiun TV besar, pulang-pulang nggak akan jadi bikin karena sudah keburu takut duluan dengan peralatan mahalnya" ujarnya.

Alhasil benar saja. Dari kunjungan tersebut, lahirlah stasiun TV lokal seperti Bengkulu TV dan lainnya. Dari stasiun-stasiun TV lokal tersebut, dibentuklah Asosiasi Televisi Kerakyatan Indonesia. Penikmat Kendari TV awalnya hanya 7 KK dan berkembang hingga dinikmati 8000 KK. 

Pada titik itu, Bang Onte dan kawan-kawan merenungkan kembali visi yang ingin mereka raih. Akhirnya tahun 2011 mereka menjual Kendari TV yang bernilai 12 Milyar (modal awal hanya 300 juta) dan Bengkulu TV yang bernilai 9 Milyar ke Kompas, dengan saham 40% masih dipegang oleh mereka. Demi mencapai visi bersama, didirikanlah TELAPAK yang masih bertahan hingga saat ini. TELAPAK adalah bentuk penggabungan LSM-LSM di Indonesia yang memiliki visi yang sama. 

Kunci Keberhasilan Tim

Yang berhasil membuat kami terkagum-kagum adalah salah satunya konsistensi 8 orang sebagai penggagas yang bertahan terus hingga saat ini. Hal itu yang menjadi teladan konkrit prinsip gotong royong, harapannya menjadi contoh bagi masyarakat yang mereka dekati. Yang mengikat mereka juga salah satunya adalah aturan main yang disepakati bersama. Misalnya dalam pembagian peran, masing-masing tidak akan campur tangan dengan bagian lainnya. Dari mulai yang jago berdiplomasi hingga peran menghibur tim, semuanya dipercayakan pada perannya masing-masing. Masalah pembagian uang, dulu dibagikan ke teman-teman yang membutuhkan. Misalnya pernah dalam cerita perjuangan di awal, ada 2 dari 8 orang ini yang mau menikah, maka 6 orang lainnya mengumpulkan uang untuk membantu kedua temannya. Untuk menghindari konlik internal, 8 orang ini rutin camping 2 minggu sekali. Ketika semakin banyak orang dalam radio dan TV, bentuknya berupa gathering 1 bulan sekali. Sekarang untuk skala TELAPAK, mereka rutin rapat besar 2 tahun sekali. 

Menariknya lagi, dalam pembagian hak secara finansial pun diatur sama rata dan gaji yang mereka terima masing-masing di luar masuk ke satu pintu. Mereka menggunakan sistem koperasi untuk mengikat  status kerjasama. Koperasi itulah yang memiliki saham di mana-mana. Menurut pengalaman Bang Onte, badan koperasi ini sangat membantu menghindari konflik internal karena hak dan kewajibannya diatur dengan sangat jelas. Selain menjunjung tinggi asas gotong royong,TELAPAK hingga saat ini yang beranggotakan 300 orang masih menggunakan sistem musyawarah, salah satunya dalam memilih pemimpin. Dalam rapat besar, orang-orang yang merasa pantas memimpin dan yang dipilih rekan-rekannya karena dianggap pantas diberikan waktu sendiri untuk menentukan siapa yang menjadi ketua di antara mereka. 

Kunci Keberhasilan di Masyarakat

Dalam bekerjasama dengan masyarakat di setiap programnya, mereka selalu belajar dari kegagaln. Salah satunya adalah tidak bergantung ke satu pihak yang dianggap sebagai tokoh masyarakat. Jika terjadi apa-apa dengan orang ini, maka program bisa bubar seketika. Kemudian proses pendekatan yang dilakukan juga unik. Selain prinsip partisipatif dengan membangun aturan bersama dengan masyarakat, pendekatannya adalah mengikuti kebiasaan masyarakat di awalnya. Kebiasaan makan bersama hingga mencuri kayu pun mereka geluti. Karena pada prinsipnya mereka percaya kalau banyak kesepakatan dan hal-hal penting yang dapat dilakukan dalam obrolan ringan di sela berkegiatan itu. Namun untuk beberapa kebiasaan negatif masyarakat, mereka strategikan untuk lama kelamaan digiring ke arah yang benar. Jika kebiasaan masyarakat yang kita rasa buruk langsung 'ditabrak' di awal, bisa-bisa kita langsung ditolak mentah-mentah. Sistem pembagian keuntungan juga dilakukan agar masyarakat merasakan timbal balik dari usahanya. Jika ada konflik, mereka menggunakan 'buku besar' yang mengatur segala aturan main-hasil kesepakatan mereka sendiri. Kunci lainnya adalah keteladanan. Delapan orang penggagas ini bertahan dengan jumlahnya dan menunjukan bukti nyata sebuah gotong royong dan koperasi.
Fokus dengan apa yang dicita-citakan. Fokus itu datangnya dari hati. Kalau memang tidak serius, lebih baik berhenti karena hanya buang-buang waktu saja!

Foto Bersama Seusai Ngobrol

Terima kasih untuk ceritanya yang sangat menginspirasi, Bang Onte! :)


Sabtu, 13 September 2014

Pesan Sang Guru


“The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The great teacher inspires.” -William Arthur Ward

Sudah lama sekali saya ingin menuliskan sedikit mengenai tokoh yang satu ini. 

Hari Kamis pagi lalu, saya menemui kembali dosen favorit, mentor, dan guru saya selama di Kampus. Dr. Ir. Tresna Dermawan Kunaefi, yang akrab disebut Pak Iwan. Seorang dosen sekaligus mantan duta besar UNESCO, yang menjunjung tinggi nilai socio-technology dan aktif di ranah pendidikan. Beliau adalah salah satu pihak yang berjasa dalam mengusahakan batik sebagai world heritage. Kecintaan beliau terhadap pekerjaan dan hobinya menginsipirasi saya sejak awal berkomunikasi dengan beliau sebagai dosen mata kuliah Infrastruktur Sanitasi, pembimbing mata kuliah kerja praktek, dan tugas akhir saya yang berkaitan dengan community based sanitation

Pesan ini selalu beliau ingatkan kepada saya, di sela-sela penyampaian harapan beliau terhadap saya menuju kesuksesan di masa depan. Maka izinkan saya menulis untuk membagi dan mengingatnya.

Bangga terhadap pekerjaanmu, 
Cintai pekerjaanmu, 
Lakukan yang terbaik pada pekerjaanmu,

Dibarengi dengan senyum lebar dan kisah beliau melewati serunya kehidupan.

Perjalanan amanah dan sepak terjang beliau yang naik turun dilakukan dengan sepenuh hati. Sudah beberapa kali beliau sampaikan ini kepada saya, setiap mendengar celotehan saya akan mimpi dan minat saya yang meledak-ledak. Harapan dan pesan selalu hadir dari beliau

Sumber : Pikiran Rakyat

Terima kasih, Pak Iwan. Semoga tetap sehat dan menginspirasi sepanjang masa!

Sabtu, 23 Agustus 2014

Empati Adalah Imunitas?

Lagi-lagi saya menemukan korelasi yang keren antara hati dan tubuh kita!

Pernahkan ketika kita sedang sibuk melakukan banyak hal rasanya seperti sehat selalu? Bahkan orang tua saya di rumah pun sampai bingung dan beberapa kali khawatir dengan kesehatan saya si anak bungsu ini. Awalnya saya pikir itu adalah efek dari pengalihan pikiran sehingga badan pun tidak terasa "sinyal-sinyal" capeknya. Maka biasanya baru terasa lelahnya atau ambruk ketika pekerjaan sudah selesai dan dalam masa rehat. 

Namun ada kalanya beberapa jenis aktifitas positif yang meskipun capeknya bukan main, tetapi badan saya baik-baik saja tuh setelah aktifitas tersebut usai. Yang saya dapatkan justru energi yang lebih meledak-ledak. Hehehe. 

Ada hal menarik yang lagi-lagi saya temukan dari temuan Gobind Vashdevh dalam buku Hapiness Inside

Korelasi empati dan imunitas tubuh

Gobind memberikan contoh seorang mendiang tokoh tersohor di dunia, Bunda Theresa. Seorang perempuan peraih nobel perdamaian karena perjuangannya bersama kaum papa. Bagaimana beliau dan rekan-rekannya bisa kebal dari penularan penyakit kusta selama begitu lamanya bersentuhan dengan pengidap penyakit menular ini? Kemudian saya jadi mengingat bagaimana para relawan-relawan selama ini baik-baik saja dalam misi menolong korban, baik dari penyakit menular, bencana, atau di permukiman kumuh yang katanya menjadi sumber penyakit? Kondisi terjepit tersebut mengakibatkan para relawan tidak sempat mengonsumsi makanan dan istirahat teratur. Secara nalar, hal ini sangat tidak mungkin.

Informasi setelahnya sangat mencengangkan dan membuat saya merinding.
Seorang psikolog dari Harvard, David McClelland dan Carol Kirshnit telah melakukan penelitian tentang hubungan antara empati dan kekebalan tubuh, melalui pengecekan air liur penonton film-film yang mengundang empati. Hasilnya luar biasa. Peningkatan empati berkorelasi positif terhadap kenaikan tingkat Immunoglobulin A (IgA).
Saya lagi-lagi harus katakan bahwa saya merinding dibuatnya. Saya sebarkan ke beberapa teman terdekat mengenai informasi luar biasa ini. Bahwa betapa hebatnya tubuh kita merespon kebaikan, empati, dan nilai berbagi kepada sekitar kita. Terjawab sudah pertanyaan saya. Itulah mengapa pemimpin-pemimpin hebat di negeri kita ini seperti tidak ada lelahnya, dan orang-orang mulia di sekitar kita seperti tidak pernah habis energinya. Karena mereka benar-benar berempati untuk sesama. :)



Jumat, 22 Agustus 2014

Media dan Saringan Diri

Tulisan mengenai fenomena paparan dan arus media yang terjadi saat ini sebenarnya sudah lama sekali ingin saya tuliskan. Mulai dari berita, sarana hiburan, hingga iklan dalam berbagai bentuk media menggelitik saya untuk mengamati fenomena yang terjadi atas akibat yang ditimbulkan olehnya. Namun hanya tersimpan dalam pikiran dan belum terpikirkan banyak hal untuk disampaikan hingga saya menemukan beberapa yang menarik.

Kemudian saya seperti seakan diingatkan kembali mengenai hal ini ketika dipinjamkan buku Happiness Inside karya Gobind Vashdev, yang menyebut dirinya sebagai heartworker. Izinkan saya mengutip dan menuliskan kembali beberapa poin menarik yang saya serap dari buku inspiratif ini, dan saya elaborasikan dengan sumber lainnya. 

Manusia dan Air

Mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita mengenai keajaiban yang terjadi dalam pengaruh struktur molekul dalam air terhadap respon hal-hal yang diterimanya, mulai dari kata-kata, lagu, bahkan tulisan di dekatnya. Penelitan yang telah menggemparkan dunia ini dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto dari Jepang dengan pengamatan melalui mikroskop. Pembentukan kristal yang terjadi dalam air menunjukkan respon terhadap hal-hal positif seperti kata-kata yang baik, doa, dan alunan musik yang menenangkan.

Melihat hasil penelitian tersebut, maka menjadi logis kaitannya dengan perilaku manusia. Bicara mengenai air, kurang lebih 2/3 kandungan dalam tubuh manusia adalah air. Sama halnya dengan hakikat air yang disebutkan di atas, bahwa jika tubuh kita terpapar hal-hal yang baik, maka sebagian besar dari tubuh kita akan merespon dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya yang terjadi pada hal-hal yang buruk.

Penularan Perilaku

Bukan hanya penyakit fisik yang bisa menjadi wabah. Rupanya segala bentuk perilaku juga bisa mengalami hal serupa. Kekhawatiran dan kecurigaan saya berawal dari banyaknya tayangan dan informasi negatif terkait tindakan kriminal, bahkan film-film berbau sadis tersebar bebas ke publik, yang mengakibatkan meningkatnya pula tindakan kriminal di dunia nyata. 

Rupanya kekhawatiran saya terjawab. Penelitian  telah dilakukan oleh David Philips dari University of California, San Diego mengenai korelasi positif antara pemberitaan di media mengenai kejadian bunuh diri dan tingkat bunuh diri yang terjadi di wilayah tersebut. Selain itu penelitian ini juga dibuktikan oleh Malcolm Gladwell yang mengamati fenomena di Mikronesia mengenai peningkatan kejadian bunuh diri hingga 7 kali lipat dengan cara yang hampir serupa, setelah 1 kejadian bunuh diri yang diberitakan media massa setempat.

Yang saya sampaikan di atas mungkin lebih kepada kekhawatiran untuk perilaku ekstrim. Untuk membuktikan fenomena penularan paling sederhana di sekitar kita, coba kita perhatikan tren yang dibentuk oleh media, atau kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan oleh teman di sekeliling kita yang membuat kita melakukan hal yang sama. Alam bawah sadar kita terbukti merespon apa yang kita dengar, lihat, dan rasakan.

Saringan Diri
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra :36)
Dengan kepungan media yang terjadi saat ini, mau tidak mau kita sendiri yang harus "membentengi" diri dan menciptakan lingkungan yang baik di sekitar kita. Adalah sepenuhnya hak kita secara sadar untuk merespon hal-hal yang kita terima. Ada sebuah kisah menarik yang ingin saya kutip mengenai "saringan pikiran".

Pada jaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya yang tinggi. Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, "Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?"
"Tunggu sebentar," jawab Socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Lapis."
"Saringan Tiga Lapis?" tanya pria tersebut.
"Betul," lanjut Socrates," sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Lapis."
" Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya itu benar?"
"Tidak," kata pria tersebut. "Sesungguhnya saya hanya mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda."
"Baiklah," kata Socrates. "Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak."
"Sekarang mari kita coba saringan kedua, yaitu KEBAIKAN. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?"
"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk."
"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin jika itu benar. Anda mungkin masih dapat lulus ujian selanjutnya, yaitu KEGUNAAN. Apakah cerita yang Anda ingin beritahu kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?"
"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Jika begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang akan Anda beritahukan kepada saya itu tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?"

Kisah di atas sebenarnya tepat sekali direnungkan oleh kita yang bisa mendapati kondisi diri kita sebagai penerima atau pemberi informasi. Sebagai penerima, ada beberapa informasi yang mungkin tidak dapat terhindarkan untuk kita terima, namun kita berhak memilih dan memilah mana yang baik untuk diresapi oleh diri kita. Tidak kalah penting halnya untuk ikut menjaga lingkungan terdekat kita dari "penularan perilaku" negatif melalui paparan media tersebut, khususnya terhadap anak kecil.

Bukan hanya sebagai penerima informasi yang harus pintar, tetapi juga si pemberi informasi. Sesuatu yang seharusnya paling dapat kita kontrol adalah sebagai pemberi. Meskipun saat ini media sosial memberikan hak kepada kita untuk seluas-luasnya menyebarkan atau menginformasikan sesuatu, alangkah lebih indahnya kalau kita mengambil waktu sejenak untuk memikirkan efek yang akan diterima oleh orang-orang di sekeliling kita sebagai si penerima. Tentunya masing-masing dari kita mengharapkan sekitar kita mendapatkan penularan hal-hal yang positif :)

Rabu, 28 Mei 2014

Desa Mulyo Agung : Sampah Menjadi Berkah

24 Mei 2014, Kabupaten Malang.

Kebiasaan masyarakat Indonesia menyikapi sampahnya adalah bagaimana menyingkirkan ‘masalah’ itu sejauh-jauh dan sesegera mungkin. Namun lain ceritanya dengan masyarakat Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang Jawa Timur. Dari sampah menjadi berkah. 

Akibat sampah, desa yang dilewati Kali Brantas ini awalnya hampir menjerumuskan kepala desanya pada tahun 2007 ke peradilan. Desa yang menghasilkan sampah hingga 30 meter kubik per hari ini sebelumnya terbiasa menggelontor sampahnya langsung ke Kali Brantas, hingga dikecam oleh pemerintah kebuapaten setempat karena dinilai sebagai salah satu penyebab utama pencemaran Kali Brantas.

Mulai tahun 2008 Desa Mulyo Agung mendapatkan hibah bahwa sampah harus dikelola. Tahun 2009 dimulai dengan dilakukan pembebasan lahan untuk pembangunan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) seluas 2000 meter kubik. TPS yang berdiri pada tahun 2010 ini mulai berani dioperasikan oleh masyarakat pada tahun 2011. 

Pak Supadi, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat
Awal berdirinya TPS pada 4 bulan pertama menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat bahkan pengurus harus menelan caci maki. Hal ini dipicu oleh timbulnya bau yang diakibatkan proses pengelolaan yang belum sempurna serta adanya lalat dan belatung. Pak Supadi dan tim tidak kehabisan akal. Berawal dari mencoba memanfaatkan ayam untuk menyantap habis belatung-belatung yang timbul, pengurus mencoba membangun beberapa kolam yang berisikan ikan lele dan nila. Rupanya belatung dengan protein yang sangat tinggi ini sangat potensial untuk budidaya ikan. 


Kolam budidaya ikan sebagai salah satu alternatif dalam pemanfaatan sampah
Sampah yang saat ini berjumlah 64 meter kubik ini dihasilkan oleh 7800 KK yang terdaftar sebagai pelanggan. Peningkatan jumlah pelanggan hingga dua kali lipat terjadi setelah TPS berjalan 3 tahun lamanya. Pengelolaan sampah yang dilakukan hanya menyisakan residu sejumlah 16% dari keseluruhan sampah yang masuk, untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 

Untuk biaya operasional, masing-masing KK ditarik iuran sebesar 5.000-12.000 rupiah/bulan. Penarikan iuran tersebut diserahkan kepada pengurus RT dan RW masing-masing dan mengambil bagian sejumlah 10% sebagai 'upah' dalam pengumpulan iuran. Sejumlah 38 juta rupiah berhasil ditarik dari pelanggan, sementara biaya total yang dibutuhkan untuk keseluruhan operasional adalah 90 juta rupiah. Bagaimana mengisi selisihnya? Nah ini yang menarik. Berbagai jenis sampah yang masuk dipilah dengan dibagi dalam beberapa zona.



Tahap awal adalah sampah dipilah secara manual menggunakan tangan. Deretan petugas sibuk memilah sampah-sampah yang baru saja masuk ke area TPS. Kemudian sampah yang telah terpilah tersebut ddistribusikan ke setiap kamar-kamar yang mengkategorikan sampah berdasarkan jenisnya. Dari jenis sampah anorganik dapat menghaslkan 473 jenis produk dan 39 di antaranya dibeli oleh pabrik sedangkan sisanya ke pengepul sampah untuk dijual.


Pemilahan sampah
Pengelompokan jenis sampah hingga siap dikemas untuk dibeli pabrik-pabrik dan dijual ke pengepul sampah
Proses pembuatan kompos
Jenis sampah organik berupa dedaunan dipisahkan untuk diolah menjadi kompos. Kompos ini digunakan kembali di kebun-kebun di Desa Mulyoagung. Untuk sampah sisa-sisa makanan lain seperti nasi dan bahan-bahan dapur lainnya dikumpulkan untuk kemudian dicacah manual dengan sabit dan dibungkus dalam kemasan plastik-plastik, siap dibeli oleh peternak babi dan bebek. Satu buah kantongnya dibanderol dengan 3000 rupiah saja. Dari penjualan sisa makanan ini bisa menghasilkan hingga 3.500.000 rupiah per bulan. Selain itu dilakukan juga budidaya peternakan kambing dan bebek dengan pakan sampah basah dan sampah organik dari hasil pemilahan.

Pencacahan, pengepakan, dan daftar peternak langganan (kiri ke kanan)
TPST telah membuka lapangan pekerjaan untuk 77 karyawan yang berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Pengelolaan TPS ini dapat menjadi alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang kurang mampu. Usaha ini mampu menggaji karyawannya dengan biaya minimum 850 ribu rupiah dan maksimum 1.250.000. 

Pak Supadi sebagai ketua Kelompok Swadaya Masyarakat memiliki prinsip dan kunci kesuksesan dalam mengajak masyarakat peduli dengan persampahan dengan tidak menggunakan konsep 'sosialisasi', namun lebih kepada sharing ide atau berbagi satu sama lain. 

"Ngolah sampah tidak boleh pinter-pinteran!" ujarnya.

Semoga ada Pak Supadi Pak Supadi lain yang lahir menjadi solusi!

Jumat, 02 Mei 2014

Sisa-sisa (makanan) yang tidak diikhlaskan

Saya kutip judul tulisan ini yang mirip dengan judul sebuah lagu Payung Teduh yang berjudul "Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tidak Diikhlaskan", dari celetukan seorang teman. 


Ini adalah curahan kegelisahan saya sebagai seorang pecinta makanan

Pikiran-pikiran ini berawal dari hal yang paling sederhana. Saya belum akan menyajikan data dan fakta untuk memperkuat opini saya. Saya hanya mau berbagi sebagai seorang penikmat segala jenis hidangan, 

Saya merasa sangat terganggu dan merasa bersalah dengan fenomena di mana segala jenis asupan perut itu harus terbuang begitu saja, tanpa melewati perut manapun. Hal ini paling sering saya temukan di setiap acara publik seperti pesta, seminar, dan sejenisnya yang menghadirkan makanan prasmanan. Sajian makanan dan minuman gratis, di mana pengunjung tidak menanggung beban sepeserpun di situ. Kita dibebaskan untuk memilih dan menentukan besar kecilnya porsi segala jenis makanan dan minuman yang kita sukai, namun banyak sekali saya temukan yang pada akhirnya piring-piring berisi makanan itu hanya tersentuh sebagian dan dianggurkan di meja piring kotor. Kasus serupa juga ditemukan di beberapa restoran di mana pelanggan meninggalkan piring yang masih berisi makanan yang tidak habis di atas mejanya begitu saja dan melenggang pulang. Itu hanya dua buah contoh dari sekian banyak fenomena yang pasti sering kita temukan di sekitar kita, khususnya di kawasan urban.



Sudah kenyang? Porsi terlalu besar? Tidak suka dengan rasa makanannya?

Ilustrasi sisa-sisa makanan
Sumber : http://www.innovationmanagement.se/2012/05/16/a-coming-food-waste-revolution/
Saya ingat kembali memori ketika saya masih kecil, momen ketika makan bersama keluarga di rumah makan, Ibu saya jarang sekali memesan makanan sendiri. Seringkali saya heran dibuatnya. Lalu ketika di antara kami tidak menghabiskan makanan, Ibu saya siap sedia untuk menghabiskan. Ibu saya di rumah selalu mewanti-wanti dan mengajarkan kami sejak kecil untuk tidak menyisakan makanan. Jika ada makanan tersisa di rumah, beliau pasti akan putar otak dan pilihannya adalah mengajak kami menghabiskannya, atau segera membungkusnya untuk segera diberikan ke orang lain. Kemudian beliau akan berceloteh ketika menemukan makanan yang sudah kami beli atau pilih sendiri, namun pada akhirnya tidak dihabiskan hingga kadaluarsa dan terpaksa harus terbuang.

Rangkaian kebiasaan kecil di rumah yang dibangun ibu saya membuat saya paham.
Bukan, bukan paham karena seorang ibu cenderung lebih mudah gemuk ketika mengurus anak :)) (meskipun saya pun melihat fenomena ini). Tetapi mengapa dan apa efeknya untuk anak hingga dewasa nanti.

Beberapa keluarga menerapkan mitos supaya anak menghabiskan makanannya dengan membuat seakan-akan makanannya hidup dan bisa menangis jika terbuang. Ada pula kisah Dewi Sri yang konon katanya akan menangis jika ada nasi yang tertinggal di piring dan terbuang. Lucunya, dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dibangun dengan analogi cerita-cerita fiksi itu terkadang ampuh juga. 

Namun jauh dari kisah itu, ada makna yang jauh lebih dalam dari fenomena menyisakan makanan.

Tanggung Jawab
Selesaikan apa yang sudah menjadi pilihan dan tanggungan (makanan) kita. Ambil sebesar dan semampu kita untuk menyelesaikannya. Ini adalah esensi yang paling sarat saya rasakan dari hasil didikan ibu saya di rumah.

Bersyukur
Semua yang diberikan di depan mata kita adalah rezeki yang sudah diatur sedemikan rupa. Bersyukur bahwa manusia diberikan sinyal lapar untuk makan dan sinyal kenyang untuk mencukupkan asupan itu.

Ingat pada orang lain
Setelah kenyang, ingat bahwa rezeki yang diberikan ke setiap manusia itu bukanlah sepenuhnya menjadi miliknya. Maka mungkin jika cukup dengan porsi yang lebih kecil, sisakan untuk orang lain yang berhak. Dan ketika mengingat orang lain yang begitu sulitnya mendapatkan sesuap nasi, kita pasti akan jauh lebih bersyukur dengan segala hidangan di depan mata kita.

Kasus sederhana tentang kebiasaan makan memakan kita, tapi mencerminkan sebuah sisi dari kepribadian seseorang :)

Ayo, habiskan makananmu!

Rabu, 23 April 2014

Eksperimen Rupa Dengan Soft Pastels


Kali ini adalah kali pertama saya akan menggunakan alat gambar bernama soft pastels yang saya dapatkan gratis atas hadiah kelulusan dari teman saya! Sudah keburu gatal untuk mencobanya, saya sapukan mainan baru saya ini ke atas kertas gambar berukuran A4. Saya coba gambar yang mudah, seekor anjing Hush Puppies. Tekstur soft pastels merupakan perpaduan antara crayon dan kapur. Serbuk-serbuknya lahir ketika saya goreskan garis demi garis. Seru sekali! 

Gambar percobaan dengan soft pastels

Awalnya saya sibuk memikirkan kira-kira apa objek yang akan saya gambar. Kemudian saya terpikir untuk melukis wajah kedua orang tua saya, sebagai kado ulang tahun pernikahan mereka. Melukis dengan gaya realis manusia, mewarnainya, dengan objek orang yang dilukis adalah orang dengan ikatan batin yang paling kuat dengan saya, menjadikan sebuah sensasi mendebarkan tersendiri. Akhirnya saya putuskan untuk iseng mempelajari bentuk wajah kedua orang tua saya ini dengan berlatih membuat sketsa dengan pensil terlebih dahulu dia atas kertas gambar biasa.

Penasaran bereksperimen yang sebenarnya dengan soft pastels, saya kontak salah satu teman saya yang memang sudah berpengalaman bermain dengan berbagai jenis alat gambar, Nyoman. 


Sketsa awal untuk latihan

Jumat siang saya tiba di rumah Nyoman, namun kami baru mulai menggambar pukul 16.30. Kami memulai dengan memilih kertas yang akan saya jadikan kelinci percobaan. Jenis kertas yang memang khusus untuk soft pastels bernama canson. Teksturnya sedikit lebih kasar dari kertas gambar biasanya. Dari warna-warni gulungan kertas yang ada, saya tentukan pilihan pada kertas warna krem. Tips pemilihan kertasnya adalah pilih kertas dengan warna yang sekiranya akan cukup mendominasi warna gambar. Karena saya akan menggambar rupa ayah dan ibu saya, maka saya memilih warna krem karena paling dekat dengan warna kulit wajah.

Saya sengaja menggunakan pakaian yang paling nyaman karena proses berkarya seni untuk saya akan memakan waktu yang cukup lama dan butuh fleksibilitas dalam perubahan posisi badan. Kemudian iapkan peralatan dan bahannya terlebih dahulu : Soft pastels, kertas canson, tissue, gambar untuk ditirukan, dan cairan bernama fixative yang akan digunakan di akhir proses menggambar. Oh iya yang tidak kalah penting : sediakan cemilan dan minuman!

Senjata tempur!

Mumpung saya sedang bersama Nyoman yang jagoan menggambar dengan gaya realis, saya minta Nyoman untuk memberikan arahan langkah-langkah dan tips selama menggambar. Pertama-pertama ambil contoh gambar yang akan ditirukan dan buat grit di atasnya dengan pensil. Kemudian lakukan hal yang sama dengan skala gambar disesuaikan dengan ke atas kertas canson dengan soft pastel warna hitam. Jangan ditekan! Karena nantinya garis-garis ini akan dihapus. Lalu mulailah membuat sketsa dengan soft pastels berwarna coklat. Fungsi grit adalah menjadikan lekuk-lekuk dan tata letak pada gambar lebih proporsional, seusai dengan aslinya.`

Guru gambar saya dan gambarnya yang super dewa
Membuat grit dan sketching
Setelah selesai membuat sketsa, dengan soft pastels yang sama, gores dan gosok untuk beberapa titik yang berbayang. Contoh : hidung, pipi, dagu. Sesuaikan dengan gambar aslinya. Fungsi shading ini adalah menunjukkan lekuk-lekuk pada wajah. Sebelum memberikan bayang-bayang, saya terkena sindrom malas-diwarnai-ah-udah-bagus-takut-malah-jelek. Itulah mengapa saya hampir tidak pernah menggambar orang dengan warna!

Mulai menggores soft pastels

Setelah proses shading, saatnya untuk memberikan warna-warna lain dan membaurkannya sehingga warnanya menyatu atau membentuk warna tertentu. Soft pastels yang saya miliki ini punya karakteristik menghasilkan butiran serbuk yang cukup banyak. Tepuk-tepuk saja serbuk tersebut untuk mengisi warna pada tekstur kertas sekaligus menyatukan warna. 

Kesulitan utama biasanya membentuk bibir, hidung, dan puncaknya pada mata! Salah sedikit sudut saja langsung berbeda sekali! Menggambar memang butuh kesabaran, apalagi untuk jenis realis dengan memperhatikan detail sana sini. Saya berkali-kali berkomentar, "Aduh kok bokap gue kekurusan ya? Kok nyokap gue beda ya? Kok... Kok..." Dan banyak lagi yang terkadang membuat Nyoman geli sendiri mendengar celetukan saya mengomentari gambar sendiri. 

"Itu hidungnya kurang ke bawah... Sudut mulutnya... Matanya kurang..."

Kalau tidak benar-benar senang menggambar dan menikmati ini, sepertinya kita bisa frustasi sendiri. Tetapi keuntungan menggunakan soft pastels adalah bisa dihapus! Teknik menghapusnya perlahan dan tidak sembarangan. Harus super hati-hati supaya tidak merusak bagian yang lain. Kemudian perhatikan juga untuk tidak menyapu soft pastels terlalu tebal! Karena nantinya akan semakin sulit dibaurkan dan untuk warna yang seharusnya bisa memanfaatkan warna kertas menjadi percuma.

Setelah bolak-balik "mereparasi" wajah kedua orang tua saya, saatnya membubuhkan warna hitam untuk beberapa titik. Penggunaan warna hitam harap dilakukan terakhir sekali! Karena warna ini dapat mengotori banyak bagian. Ajaibnya, ketika membubuhkan sedikit warna hitam ke mata, rasanya seperti memberikan 'nyawa' ke gambar! 

Detik-detik tahap finishing
Nah, bagaimana cara memastikan gambar sudah proporsional, aneh/tidak, dan sebagainya? Pasang gambar pada posisi vertikal dan pandangi gambar dari jauh, maka kamu pasti akan menemukan jika ada titik kejanggalan pada gambarmu. Saat itu saya sudah super yakin dengan gambar saya. Lalu setelah memposisikan gambar vertikal, saya hampir frustasi karena ternyata salah satu mata ibu saya posisinya terlalu ke atas. Setelah diberikan tips langkah-langkah dari Nyoman, akhirnya dengan jurus soft pastels putih, mata yang kurang pas bisa dibetulkan! Hore!

Setelah yakin dengan gambar kita, semprot gambar dengan posisi vertikal menggunakan fixative. Semprit secara perlahan ke seluruh bagian gambar. Tujuannya supaya warna lebih menempel ke kertas.

Menyemprot dengan fixative

Hore akhirnya jadi juga! Setelah menghabiskan 8 jam lebih menggambar, saatnya berpuas diri! Wah rupanya gambar dengan soft pastels tidak bisa digulung karena akan merusak tekstur warna yang halus. Maka dari itu setelah melapisi gambar dengan plastik dan menjepitnya di buku gambar, saya boyong karya saya ini ke tukang pigura. Baiklah, ini menjadi kado ulang tahun pernikahan dan tanda terima kasih saya untuk kedua orang tua saya. Hore! Lain kali saya akan mencoba gambar-gambar lain dengan mainan baru saya ini!


Voila!

Selamat mencoba!


Kamis, 09 Januari 2014

Kisah Sang Kakek dan Cucunya

Setelah beradu dengan waktu dan berhasil menemui dosen pembimbing saya untuk meminta tanda tangan, saya putuskan untuk berbincang sejenak dengan beberapa kawan seperjuangan saya. Langit sebenarnya sudah mendung. Dan benar saja, langit menguras diri dan menurunkan air berton-ton jumlahnya dan berhasil menyurutkan niat dan menahan saya untuk pulang.

Perbincangan tentang hidup. Memaknai hal-hal kecil. Lalu ada sebuah kisah sederhana yang dilontarkan salah seorang teman saya tentang shalat, ibadah wajib bagi seorang muslim. Lagi-lagi saya tuliskan sebagai pengingat untuk diri sendiri. Begini ceritanya.

 .....

Alkisah di sebuah desa, seorang anak laki-laki tinggal dengan seorang kakeknya. Kakek ini terkenal akan pribadinya yang shaleh dan tidak pernah meninggalkan shalatnya. Tidak lupa sang kakek selalu mengingatkan cucunya untuk selalu menunaikan ibadah ini setiap saat, dalam 5 waktu. Sang cucu selalu mengikuti perintah kakeknya hingga suatu hari sang cucu mungkin mulai merasa bosan dengan rutinitas tersebut. Ia tidak merasakan manfaat yang berarti atas pengulangan ritual 5 kali sehari yang kata sang kakek sebagai bentuk ibadah kepada Yang Maha Kuasa.

Ketika sampai di titik kejenuhannya, sang cucu bertanya pada sang kakek, untuk apa ia harus melaksanakan shalat sementara ia tidak merasakan perubahan apa-apa? Sang kakek tidak langsung menjawab. Ia ambil sebuah ember yang kotor akan tanah dan berlubang. Ia minta cucunya untuk mengambil air di sungai untuk mengisi penuh bak air di rumah. 

Dengan masih diliputi perasaan heran, perlahan sang cucu ikuti permintaan kakeknya. Ia harus melalui jalan turunan dan tanjakan untuk menuju sungai. Setiap ia mengambil seember penuh air, ia tetap harus melewati perjalanan yang cukup jauh. Setiap sampai di rumah, air di embernya tersisa sedikit. Air yang ia ambil perlahan-lahan keluar dari lubang selama perjalanannya. Beberapa kali si cucu bolak-balik, namun air yang berhasil dibawanya tidak seberapa. 

Sampai di titik jenuh dan kesalnya, ia menghampiri si kakek dan menanyakan untuk apa si kakek memintanya melakukan hal yang sia-sia itu? Mengapa harus mengambil air dengan ember yang kotor bahkan berlubang? Sambil menunjuk bak air yang tidak kunjung penuh dan air yang diambil menjadi kotor akibat tanah yang menempel dari ember, ia mempertanyakan permintaan yang dianggapnya aneh itu.

Lalu sang kakek memanggil cucunya dan memintanya untuk memperhatikan ember kotor dan berlubang yang ia bawa. Ia menanyakan ke cucunya, apa yang anak itu lihat di ember sebelumnya dan apa yang berbeda setelah ia bolak-balik mengambil air. Rupanya ember berlubang yang tadinya kotor sekali oleh tanah tersebut menjadi bersih sekali. 

Mungkin kita terlalu terfokus pada hasil yang kita harapkan dalam usaha kita, dalam hal ini adalah memenuhi isi bak air. Namun tanpa kita sadari, ada hal lain yang kita dapatkan atas usaha dan sesuatu yang kita tekuni. Usaha kita untuk berulang kali mengambil air rupanya tanpa kita sadari membersihkan si ember itu sendiri.

Hati

Tanpa kita sadari, di luar ekspektasi yang kita harapkan, dengan secara konsisten beribadah dan berkomunikasi dengan Yang di Atas akan dengan perlahan membersihkan hati kita. Maka "air" yang kita ambil dengan "ember" yang perlahan menjadi bersih menyebabkan si air yang dikumpulkan olehnya juga semakin bersih dan dapat dimanfaatkan.

Selamat menimba air dengan embermu!

:)

Selasa, 07 Januari 2014

Upah, Kerja, dan Berkah

Sudah hampir satu semester lamanya saya tidak mendengarkan siraman rohani dari salah seorang teman sekaligus guru bagi saya, Rahmi Khoerunisa. Siang tadi saya, Yufie, dan Ami duduk bertiga di pelataran Masjid Salman untuk berbagi, saling memberi angin segar untuk kebutuhan rohani. 

Kami berdiskusi banyak hal. Saya dan Yufie cenderung menjadi pendengar atas lontaran ayat dan kisah dari Ami yang menenangkan hati. Alhamdulillah Allah mengirimkan teman saya yang satu ini untuk menjadi teman berbagi tentang ilmu-Nya. Saya tuliskan kembali sebagian yang saya dapatkan, untuk menjadi pengingat diri sendiri.

Salah satu kisah di bawah ini cukup menjadi bekal pengingat kami yang akan memulai fase baru, mengakhiri sekolah formal dan mulai menghidupi diri sendiri.

Seseorang datang kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberi tahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Dan gaji itu tidak mencukupinya.

Namun anehnya, Imam Syafi’i justru menyuruh dia untuk
menyedekahkan 1 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 4 dirham untuk keperluannya. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafi’i sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.

Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafi’i mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafi’i memerintahkannya untuk kembali menyedekahkan 2 dirham dari gajinya, sehingga ia hanya dapat menggunakan 3 dirham untuk hidupnya. Orang itupun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafi’i dengan perasaan sangat heran.

Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafi’i dan berterima kasih atas nasehatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?

Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercambur dengannya.

Sebenarnya poin utamanya adalah bukan besar kecilnya atas apa yang kita dapatkan, tetapi apakah itu memang menjadi hak atas apa yang kita kerjakan. Realistis dengan keperluan hidup sehari-harinya? Oh ya tetap perlu. Tetapi percayalah kalau manusia dibekali ilmu untuk mengatur keperluan hidupnya sebijaksana mungkin.

Di samping hitung-hitungan pemasukan-pengeluaran tersebut, jangan lupa untuk selalu merefleksikan nilai berkah atas apa yang kita kerjakan dan dapatkan.

Ketika kita merasa berkecukupan atas apa yang kita terima,
ketika kita dimudahkan atas setiap proses dan perjalanan kita,
dan ketika pribadi kita menjadi lebih baik, lebih dekat dengan Yang di Atas

InsyaAllah apa yang kita kerjakan memang berkah. 
Maka tetaplah berprasangka baik dengan skenario ke depannya. 

.....

"Kemampuan manusia memang terbatas, tetapi pertolongan Allah tidak terbatas"

Kalimat di atas mengakhiri bincang-bincang penyejuk hati kami. Pas sekali diucapkan ketika pada fase saya saat ini. Tetap yakin, berprasangka baik, dan semangat bekerja keras untuk apapun yang sedang dikerjakan di depan mata! :)

Selamat memulai tahun 2014!