Rabu, 28 Mei 2014

Desa Mulyo Agung : Sampah Menjadi Berkah

24 Mei 2014, Kabupaten Malang.

Kebiasaan masyarakat Indonesia menyikapi sampahnya adalah bagaimana menyingkirkan ‘masalah’ itu sejauh-jauh dan sesegera mungkin. Namun lain ceritanya dengan masyarakat Desa Mulyoagung, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang Jawa Timur. Dari sampah menjadi berkah. 

Akibat sampah, desa yang dilewati Kali Brantas ini awalnya hampir menjerumuskan kepala desanya pada tahun 2007 ke peradilan. Desa yang menghasilkan sampah hingga 30 meter kubik per hari ini sebelumnya terbiasa menggelontor sampahnya langsung ke Kali Brantas, hingga dikecam oleh pemerintah kebuapaten setempat karena dinilai sebagai salah satu penyebab utama pencemaran Kali Brantas.

Mulai tahun 2008 Desa Mulyo Agung mendapatkan hibah bahwa sampah harus dikelola. Tahun 2009 dimulai dengan dilakukan pembebasan lahan untuk pembangunan Tempat Pengolahan Sampah (TPS) seluas 2000 meter kubik. TPS yang berdiri pada tahun 2010 ini mulai berani dioperasikan oleh masyarakat pada tahun 2011. 

Pak Supadi, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat
Awal berdirinya TPS pada 4 bulan pertama menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat bahkan pengurus harus menelan caci maki. Hal ini dipicu oleh timbulnya bau yang diakibatkan proses pengelolaan yang belum sempurna serta adanya lalat dan belatung. Pak Supadi dan tim tidak kehabisan akal. Berawal dari mencoba memanfaatkan ayam untuk menyantap habis belatung-belatung yang timbul, pengurus mencoba membangun beberapa kolam yang berisikan ikan lele dan nila. Rupanya belatung dengan protein yang sangat tinggi ini sangat potensial untuk budidaya ikan. 


Kolam budidaya ikan sebagai salah satu alternatif dalam pemanfaatan sampah
Sampah yang saat ini berjumlah 64 meter kubik ini dihasilkan oleh 7800 KK yang terdaftar sebagai pelanggan. Peningkatan jumlah pelanggan hingga dua kali lipat terjadi setelah TPS berjalan 3 tahun lamanya. Pengelolaan sampah yang dilakukan hanya menyisakan residu sejumlah 16% dari keseluruhan sampah yang masuk, untuk kemudian diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). 

Untuk biaya operasional, masing-masing KK ditarik iuran sebesar 5.000-12.000 rupiah/bulan. Penarikan iuran tersebut diserahkan kepada pengurus RT dan RW masing-masing dan mengambil bagian sejumlah 10% sebagai 'upah' dalam pengumpulan iuran. Sejumlah 38 juta rupiah berhasil ditarik dari pelanggan, sementara biaya total yang dibutuhkan untuk keseluruhan operasional adalah 90 juta rupiah. Bagaimana mengisi selisihnya? Nah ini yang menarik. Berbagai jenis sampah yang masuk dipilah dengan dibagi dalam beberapa zona.



Tahap awal adalah sampah dipilah secara manual menggunakan tangan. Deretan petugas sibuk memilah sampah-sampah yang baru saja masuk ke area TPS. Kemudian sampah yang telah terpilah tersebut ddistribusikan ke setiap kamar-kamar yang mengkategorikan sampah berdasarkan jenisnya. Dari jenis sampah anorganik dapat menghaslkan 473 jenis produk dan 39 di antaranya dibeli oleh pabrik sedangkan sisanya ke pengepul sampah untuk dijual.


Pemilahan sampah
Pengelompokan jenis sampah hingga siap dikemas untuk dibeli pabrik-pabrik dan dijual ke pengepul sampah
Proses pembuatan kompos
Jenis sampah organik berupa dedaunan dipisahkan untuk diolah menjadi kompos. Kompos ini digunakan kembali di kebun-kebun di Desa Mulyoagung. Untuk sampah sisa-sisa makanan lain seperti nasi dan bahan-bahan dapur lainnya dikumpulkan untuk kemudian dicacah manual dengan sabit dan dibungkus dalam kemasan plastik-plastik, siap dibeli oleh peternak babi dan bebek. Satu buah kantongnya dibanderol dengan 3000 rupiah saja. Dari penjualan sisa makanan ini bisa menghasilkan hingga 3.500.000 rupiah per bulan. Selain itu dilakukan juga budidaya peternakan kambing dan bebek dengan pakan sampah basah dan sampah organik dari hasil pemilahan.

Pencacahan, pengepakan, dan daftar peternak langganan (kiri ke kanan)
TPST telah membuka lapangan pekerjaan untuk 77 karyawan yang berasal dari masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah. Pengelolaan TPS ini dapat menjadi alternatif lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang kurang mampu. Usaha ini mampu menggaji karyawannya dengan biaya minimum 850 ribu rupiah dan maksimum 1.250.000. 

Pak Supadi sebagai ketua Kelompok Swadaya Masyarakat memiliki prinsip dan kunci kesuksesan dalam mengajak masyarakat peduli dengan persampahan dengan tidak menggunakan konsep 'sosialisasi', namun lebih kepada sharing ide atau berbagi satu sama lain. 

"Ngolah sampah tidak boleh pinter-pinteran!" ujarnya.

Semoga ada Pak Supadi Pak Supadi lain yang lahir menjadi solusi!

Jumat, 02 Mei 2014

Sisa-sisa (makanan) yang tidak diikhlaskan

Saya kutip judul tulisan ini yang mirip dengan judul sebuah lagu Payung Teduh yang berjudul "Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan yang Tidak Diikhlaskan", dari celetukan seorang teman. 


Ini adalah curahan kegelisahan saya sebagai seorang pecinta makanan

Pikiran-pikiran ini berawal dari hal yang paling sederhana. Saya belum akan menyajikan data dan fakta untuk memperkuat opini saya. Saya hanya mau berbagi sebagai seorang penikmat segala jenis hidangan, 

Saya merasa sangat terganggu dan merasa bersalah dengan fenomena di mana segala jenis asupan perut itu harus terbuang begitu saja, tanpa melewati perut manapun. Hal ini paling sering saya temukan di setiap acara publik seperti pesta, seminar, dan sejenisnya yang menghadirkan makanan prasmanan. Sajian makanan dan minuman gratis, di mana pengunjung tidak menanggung beban sepeserpun di situ. Kita dibebaskan untuk memilih dan menentukan besar kecilnya porsi segala jenis makanan dan minuman yang kita sukai, namun banyak sekali saya temukan yang pada akhirnya piring-piring berisi makanan itu hanya tersentuh sebagian dan dianggurkan di meja piring kotor. Kasus serupa juga ditemukan di beberapa restoran di mana pelanggan meninggalkan piring yang masih berisi makanan yang tidak habis di atas mejanya begitu saja dan melenggang pulang. Itu hanya dua buah contoh dari sekian banyak fenomena yang pasti sering kita temukan di sekitar kita, khususnya di kawasan urban.



Sudah kenyang? Porsi terlalu besar? Tidak suka dengan rasa makanannya?

Ilustrasi sisa-sisa makanan
Sumber : http://www.innovationmanagement.se/2012/05/16/a-coming-food-waste-revolution/
Saya ingat kembali memori ketika saya masih kecil, momen ketika makan bersama keluarga di rumah makan, Ibu saya jarang sekali memesan makanan sendiri. Seringkali saya heran dibuatnya. Lalu ketika di antara kami tidak menghabiskan makanan, Ibu saya siap sedia untuk menghabiskan. Ibu saya di rumah selalu mewanti-wanti dan mengajarkan kami sejak kecil untuk tidak menyisakan makanan. Jika ada makanan tersisa di rumah, beliau pasti akan putar otak dan pilihannya adalah mengajak kami menghabiskannya, atau segera membungkusnya untuk segera diberikan ke orang lain. Kemudian beliau akan berceloteh ketika menemukan makanan yang sudah kami beli atau pilih sendiri, namun pada akhirnya tidak dihabiskan hingga kadaluarsa dan terpaksa harus terbuang.

Rangkaian kebiasaan kecil di rumah yang dibangun ibu saya membuat saya paham.
Bukan, bukan paham karena seorang ibu cenderung lebih mudah gemuk ketika mengurus anak :)) (meskipun saya pun melihat fenomena ini). Tetapi mengapa dan apa efeknya untuk anak hingga dewasa nanti.

Beberapa keluarga menerapkan mitos supaya anak menghabiskan makanannya dengan membuat seakan-akan makanannya hidup dan bisa menangis jika terbuang. Ada pula kisah Dewi Sri yang konon katanya akan menangis jika ada nasi yang tertinggal di piring dan terbuang. Lucunya, dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang dibangun dengan analogi cerita-cerita fiksi itu terkadang ampuh juga. 

Namun jauh dari kisah itu, ada makna yang jauh lebih dalam dari fenomena menyisakan makanan.

Tanggung Jawab
Selesaikan apa yang sudah menjadi pilihan dan tanggungan (makanan) kita. Ambil sebesar dan semampu kita untuk menyelesaikannya. Ini adalah esensi yang paling sarat saya rasakan dari hasil didikan ibu saya di rumah.

Bersyukur
Semua yang diberikan di depan mata kita adalah rezeki yang sudah diatur sedemikan rupa. Bersyukur bahwa manusia diberikan sinyal lapar untuk makan dan sinyal kenyang untuk mencukupkan asupan itu.

Ingat pada orang lain
Setelah kenyang, ingat bahwa rezeki yang diberikan ke setiap manusia itu bukanlah sepenuhnya menjadi miliknya. Maka mungkin jika cukup dengan porsi yang lebih kecil, sisakan untuk orang lain yang berhak. Dan ketika mengingat orang lain yang begitu sulitnya mendapatkan sesuap nasi, kita pasti akan jauh lebih bersyukur dengan segala hidangan di depan mata kita.

Kasus sederhana tentang kebiasaan makan memakan kita, tapi mencerminkan sebuah sisi dari kepribadian seseorang :)

Ayo, habiskan makananmu!