Sabtu, 23 Agustus 2014

Empati Adalah Imunitas?

Lagi-lagi saya menemukan korelasi yang keren antara hati dan tubuh kita!

Pernahkan ketika kita sedang sibuk melakukan banyak hal rasanya seperti sehat selalu? Bahkan orang tua saya di rumah pun sampai bingung dan beberapa kali khawatir dengan kesehatan saya si anak bungsu ini. Awalnya saya pikir itu adalah efek dari pengalihan pikiran sehingga badan pun tidak terasa "sinyal-sinyal" capeknya. Maka biasanya baru terasa lelahnya atau ambruk ketika pekerjaan sudah selesai dan dalam masa rehat. 

Namun ada kalanya beberapa jenis aktifitas positif yang meskipun capeknya bukan main, tetapi badan saya baik-baik saja tuh setelah aktifitas tersebut usai. Yang saya dapatkan justru energi yang lebih meledak-ledak. Hehehe. 

Ada hal menarik yang lagi-lagi saya temukan dari temuan Gobind Vashdevh dalam buku Hapiness Inside

Korelasi empati dan imunitas tubuh

Gobind memberikan contoh seorang mendiang tokoh tersohor di dunia, Bunda Theresa. Seorang perempuan peraih nobel perdamaian karena perjuangannya bersama kaum papa. Bagaimana beliau dan rekan-rekannya bisa kebal dari penularan penyakit kusta selama begitu lamanya bersentuhan dengan pengidap penyakit menular ini? Kemudian saya jadi mengingat bagaimana para relawan-relawan selama ini baik-baik saja dalam misi menolong korban, baik dari penyakit menular, bencana, atau di permukiman kumuh yang katanya menjadi sumber penyakit? Kondisi terjepit tersebut mengakibatkan para relawan tidak sempat mengonsumsi makanan dan istirahat teratur. Secara nalar, hal ini sangat tidak mungkin.

Informasi setelahnya sangat mencengangkan dan membuat saya merinding.
Seorang psikolog dari Harvard, David McClelland dan Carol Kirshnit telah melakukan penelitian tentang hubungan antara empati dan kekebalan tubuh, melalui pengecekan air liur penonton film-film yang mengundang empati. Hasilnya luar biasa. Peningkatan empati berkorelasi positif terhadap kenaikan tingkat Immunoglobulin A (IgA).
Saya lagi-lagi harus katakan bahwa saya merinding dibuatnya. Saya sebarkan ke beberapa teman terdekat mengenai informasi luar biasa ini. Bahwa betapa hebatnya tubuh kita merespon kebaikan, empati, dan nilai berbagi kepada sekitar kita. Terjawab sudah pertanyaan saya. Itulah mengapa pemimpin-pemimpin hebat di negeri kita ini seperti tidak ada lelahnya, dan orang-orang mulia di sekitar kita seperti tidak pernah habis energinya. Karena mereka benar-benar berempati untuk sesama. :)



Jumat, 22 Agustus 2014

Media dan Saringan Diri

Tulisan mengenai fenomena paparan dan arus media yang terjadi saat ini sebenarnya sudah lama sekali ingin saya tuliskan. Mulai dari berita, sarana hiburan, hingga iklan dalam berbagai bentuk media menggelitik saya untuk mengamati fenomena yang terjadi atas akibat yang ditimbulkan olehnya. Namun hanya tersimpan dalam pikiran dan belum terpikirkan banyak hal untuk disampaikan hingga saya menemukan beberapa yang menarik.

Kemudian saya seperti seakan diingatkan kembali mengenai hal ini ketika dipinjamkan buku Happiness Inside karya Gobind Vashdev, yang menyebut dirinya sebagai heartworker. Izinkan saya mengutip dan menuliskan kembali beberapa poin menarik yang saya serap dari buku inspiratif ini, dan saya elaborasikan dengan sumber lainnya. 

Manusia dan Air

Mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita mengenai keajaiban yang terjadi dalam pengaruh struktur molekul dalam air terhadap respon hal-hal yang diterimanya, mulai dari kata-kata, lagu, bahkan tulisan di dekatnya. Penelitan yang telah menggemparkan dunia ini dilakukan oleh Dr. Masaru Emoto dari Jepang dengan pengamatan melalui mikroskop. Pembentukan kristal yang terjadi dalam air menunjukkan respon terhadap hal-hal positif seperti kata-kata yang baik, doa, dan alunan musik yang menenangkan.

Melihat hasil penelitian tersebut, maka menjadi logis kaitannya dengan perilaku manusia. Bicara mengenai air, kurang lebih 2/3 kandungan dalam tubuh manusia adalah air. Sama halnya dengan hakikat air yang disebutkan di atas, bahwa jika tubuh kita terpapar hal-hal yang baik, maka sebagian besar dari tubuh kita akan merespon dengan baik pula. Begitu pun sebaliknya yang terjadi pada hal-hal yang buruk.

Penularan Perilaku

Bukan hanya penyakit fisik yang bisa menjadi wabah. Rupanya segala bentuk perilaku juga bisa mengalami hal serupa. Kekhawatiran dan kecurigaan saya berawal dari banyaknya tayangan dan informasi negatif terkait tindakan kriminal, bahkan film-film berbau sadis tersebar bebas ke publik, yang mengakibatkan meningkatnya pula tindakan kriminal di dunia nyata. 

Rupanya kekhawatiran saya terjawab. Penelitian  telah dilakukan oleh David Philips dari University of California, San Diego mengenai korelasi positif antara pemberitaan di media mengenai kejadian bunuh diri dan tingkat bunuh diri yang terjadi di wilayah tersebut. Selain itu penelitian ini juga dibuktikan oleh Malcolm Gladwell yang mengamati fenomena di Mikronesia mengenai peningkatan kejadian bunuh diri hingga 7 kali lipat dengan cara yang hampir serupa, setelah 1 kejadian bunuh diri yang diberitakan media massa setempat.

Yang saya sampaikan di atas mungkin lebih kepada kekhawatiran untuk perilaku ekstrim. Untuk membuktikan fenomena penularan paling sederhana di sekitar kita, coba kita perhatikan tren yang dibentuk oleh media, atau kebiasaan-kebiasaan kecil yang dilakukan oleh teman di sekeliling kita yang membuat kita melakukan hal yang sama. Alam bawah sadar kita terbukti merespon apa yang kita dengar, lihat, dan rasakan.

Saringan Diri
"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, pengelihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra :36)
Dengan kepungan media yang terjadi saat ini, mau tidak mau kita sendiri yang harus "membentengi" diri dan menciptakan lingkungan yang baik di sekitar kita. Adalah sepenuhnya hak kita secara sadar untuk merespon hal-hal yang kita terima. Ada sebuah kisah menarik yang ingin saya kutip mengenai "saringan pikiran".

Pada jaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya yang tinggi. Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, "Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?"
"Tunggu sebentar," jawab Socrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Lapis."
"Saringan Tiga Lapis?" tanya pria tersebut.
"Betul," lanjut Socrates," sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Lapis."
" Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang akan Anda katakan kepada saya itu benar?"
"Tidak," kata pria tersebut. "Sesungguhnya saya hanya mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda."
"Baiklah," kata Socrates. "Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak."
"Sekarang mari kita coba saringan kedua, yaitu KEBAIKAN. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?"
"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk."
"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin jika itu benar. Anda mungkin masih dapat lulus ujian selanjutnya, yaitu KEGUNAAN. Apakah cerita yang Anda ingin beritahu kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?"
"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.
"Jika begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang akan Anda beritahukan kepada saya itu tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, mengapa Anda ingin menceritakannya kepada saya?"

Kisah di atas sebenarnya tepat sekali direnungkan oleh kita yang bisa mendapati kondisi diri kita sebagai penerima atau pemberi informasi. Sebagai penerima, ada beberapa informasi yang mungkin tidak dapat terhindarkan untuk kita terima, namun kita berhak memilih dan memilah mana yang baik untuk diresapi oleh diri kita. Tidak kalah penting halnya untuk ikut menjaga lingkungan terdekat kita dari "penularan perilaku" negatif melalui paparan media tersebut, khususnya terhadap anak kecil.

Bukan hanya sebagai penerima informasi yang harus pintar, tetapi juga si pemberi informasi. Sesuatu yang seharusnya paling dapat kita kontrol adalah sebagai pemberi. Meskipun saat ini media sosial memberikan hak kepada kita untuk seluas-luasnya menyebarkan atau menginformasikan sesuatu, alangkah lebih indahnya kalau kita mengambil waktu sejenak untuk memikirkan efek yang akan diterima oleh orang-orang di sekeliling kita sebagai si penerima. Tentunya masing-masing dari kita mengharapkan sekitar kita mendapatkan penularan hal-hal yang positif :)