Sabtu, 03 Desember 2016

Menjadi Guru

Hujan turun rintik-rintik di luar. Angin dingin menusuk tulangku. Wangi tanah basah menggelitik hidungku. Dari kejauhan tampak muridku sedang berjalan bertiga dari arah asrama, dengan membawa tumpukan kotak makanan milik kawan seasramanya. Wajah mereka cerah. Hujan tak menyurutkan kewajiban piket mereka, meskipun perlu berjalan melintasi pondok menuju dapur umum sambil membawa payung. Sepayung bertiga.

Senyum tipis tersungging di bibirku. Ya, hal ini adalah salah satu hal yang membuatku kerasan mengajar. Bahagia itu adalah ketika aku dapat menyaksikan buah-buah didikan dari sistem pendidikan yang kami bangun bersama-sama. Buahnya mungkin belum matang betul, namun baru melihat cikal bakal tumbuhannya yang tumbuh subur, senyum lebar akan selalu menghiasi bibirku.

Anak-anak ini ibarat sebuah tanaman. Mereka dipindahkan dari potnya yang nyaman, yaitu kampung halamannya. Berat, seperti layaknya sebuah tanaman yang baru dipindahkan ke tanah yang baru. Hidupnya akan merana karena tidak terbiasa jauh dari zona nyamannya. Yang mana sebelumnya keperluannya disiapkan orang tua, makan bisa seenaknya, dan bermain bisa sesuka hati saja. Namun masuk ke tanah yang baik dengan nutrisi dan lingkungan yang baik akan mengubah  kehidupan tanaman tersebut. Seorang anak yang dicemplungkan dalam lingkungan yang baik, asalkan terus konsisten dan dirinya berjiwa pembelajar, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa.

Bagi kami para pendidik pun, hal terberat juga kami rasakan pada saat menangani benih-benih baru. Kami perlu menanamkan nilai-nilai yang mungkin asing di telinga mereka sebelumnya. Tak jarang kami habiskan waktu kami untuk sekedar menemani dan memahamkan anak yang tidak mau makan, yang merengek minta pulang, yang rindu masakan ibundanya, sampai yang bermasalah dengan temannya. Hal remeh temeh menurut orang dewasa bisa menjadi tantangan besar dalam perjalanan hidup seorang anak.

Senyum akan terus tersimpul di bibirku, setiap hari memerhatikan perubahan-perubahan kecil dari setiap anak. Gigi yang bersih, raut wajah segar, dan salam ketika berpapasan rasanya menjadi lebih dari cukup. Meskipun tak selalu kuberikan senyum manis ketika mereka melakukan kesalahan. Beberapa kalimat nasihat bernada tinggi dan tegas juga menjadi makanan mereka untuk menjadi lebih berhati-hati dalam bertingkah laku.

Itulah menjadi guru. Menjadi guru tak pernah sebersit pun terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Kupikir aku hanya akan menjadi guru untuk anakku kelak. Namun rupanya Allah memberikan kesempatan berpuluh-puluh kali lipat lebih besar untuk berproses dalam melahirkan generasi unggul di masa depan, yang akan memegang estafetan kepemimpinan bangsa ini.

Anak-anak didikku juga guruku. Justru aku belajar banyak sekali tentang kehidupan melalui proses mendidik. Sekolah itu memang untuk belajar hidup bagi seluruh elemen di dalamnya. Baik untuk anak yang dididik, pendidik, orang tua, dan seluruh pihak yang terlibat. Percaya atau tidak, dari mengajar justru berbagai macam keahlian dan keterampilan milikku meningkat pesat, baik soft skill  maupun hard skill. Mulai dari kemampuan komunikasi, bernegosiasi, ilmu kesehatan, dan masih banyak lagi. Maklum, proses pendidikan ini berlangsung 24 jam. Hal remeh untuk membiasakan minum air putih setiap hari saja bisa jadi tantangan yang besar.

Pendidikan adalah investasi untuk jangka panjang. Aku belum tentu bisa menyaksikan keberhasilannya dalam jangka waktu dekat, tetapi keberhasilan itu pasti akan terjadi. Karena SDM adalah kunci keberhasilan dan kemajuan suatu bangsa. Selamat hari guru :)

Kamis, 29 September 2016

Lantunan Penyentil Para Pemuda

begitu banyak rintangan yang harus kita hadapi
lalu mengapa kau diam saja tak berdaya
di belia usia di masa yang paling indah
kau tampak tak bergairah

sementara yang lainnya hidup seenaknya
seakan waktu takkan pernah ada akhirnya
hanya mengejar kepentingan diri sendiri
lalu cuek akan derita sekitarnya

astaga, apa yang sedang terjadi
oh oh astaga, hendak kemana semua ini
bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli
mudah putus asa dan kehilangan arah

apa yang terjadi, hendak kemana semua ini
apa yang terjadi, sudah tak mau peduli
apa yang terjadi, hendak kemana semua ini
apa yang terjadi, sudah tak mau peduli

***

Lagu yang populer di era 90-an ini menarik perhatian saya saat telepon genggam salah seorang kawan saya berdering. Kembalilah saya di masa kecil saya, ketika mendengar lagu yang dilantunkan Ruth Sahanaya, lalu dinyanyikan ulang oleh Andien ini.

Namun momennya berbeda. Saat dulu saya masih kecil, saya belum memperhatikan lirik setiap lagu. Yang saya ingat hanya bagian "Astaga, apa yang sedang terjadi" - nya saja. Sisanya? Saya lupa sama sekali. Ditambah lagi, lagu tersebut memang bukan menyasar pada saya yang masih ingusan saat itu.

Sekarang, setelah ditilik lebih dalam, rupanya pesan dalam lagu ini sangat dalam, khususnya untuk para pemuda. Dibawakan dengan nada lebih bersemangat oleh Ruth Sahanaya, tanda sebuah peringatan, dan dengan gaya easy listening oleh Andien, tanda sebuah perenungan.

oh oh astaga, hendak kemana semua ini
bila kaum muda sudah tak mau lagi peduli
mudah putus asa dan kehilangan arah

Ayo bangun wahai pemuda!

#selfreminder

Sabtu, 20 Februari 2016

Membangun Peradaban Bersih dari Sekolah


Meskipun buahnya baru akan kita saksikan dan nikmati 10 hingga 20 tahun lebih ke depan, namun berinvestasi dalam bidang pendidikan itu adalah suatu keniscayaan. Jika ingin mengubah nasib suatu bangsa, maka mulailah dari sektor pendidikannya.

Tulisan ini adalah hasil buah pikiran dari Zahra Nur Asyifa, santri kelas X Pondok Pesantren Modern Al Umanaa (Al Umanaa Boarding School), Sukabumi

***

Dua hari yang lalu, salah satu guru di sekolah saya memperlihatkan kondisi Sungai Citarum milik Indonesia kita ini. Sungguh, sungai itu sudah tidak cocok disebut sungai air! Lebih cocok disebut sungai sampah. Beberapa kali saya berkunjung ke Jakarta, dan hal yang selalu menarik mata hanyalah betapa banyaknya sampah berserakan tanpa mengenal estetika di jalanan, di selokan, dan tempat umum lainnya. Alhasil, bencanalah yang datang, seperti banjir, yang sering terjadi di negara kita ini, sampai-sampai ada longsor sampah, yang terkenal sebagai peristiwa Leuwi Gajah yang menewaskan ratusan orang, dan bencana lainnya.  Ini menunjukkan betapa kotornya negara kita ini, betapa buruknya sistem pengelolaan sampah yang dimiliki negeri ini!
Padahal, kebersihan adalah salah satu tolak ukur tingginya peradaban suatu bangsa. Maka keberhasilan pengelolaan sampah menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa membangun peradabannya.  Sedangkan Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik. Oleh karena itu, saya sebagai calon pemimpin bangsa ingin mengubah kenyataan ini dengan mengajak para pembaca semua untuk membangun sistem pengelolaan sampah Indonesia dari sekarang.

Namun, ketika kita sudah memiliki sistem pengelolaan sampah yang baik, kesuksesan sistem itu bergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Maka, Indonesia memerlukan rakyat yang mau dan mampu mengikuti sistem pengelolaan sampah tersebut. Sebenarnya Indonesia juga telah memiliki sistem pengelolaan sampahnya sendiri. Buktinya, banyak saya temui tempat sampah organik dan anorganik di beberapa kota yang pernah saya kunjungi. Namun, karena rendahnya kepedulian SDM-SDM Indonesia, pemilahan sederhana seperti itu saja tidak berjalan dengan baik. Jadi, Indonesia perlu sumber daya manusia yang memiliki kepedulian tinggi dan pastinya berintegritas.

Untuk merealisasikannya, sekolah adalah tempat yang paling tepat. Di sekolahlah pendidikan berlangsung, di sekolahlah orang-orang dikembangkan ilmunya, disempurnakan integritasnya. Sekolah memang tempat yang tepat untuk melahirkan SDM-SDM berkualitas, SDM-SDM yang memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap lingkungan, SDM yang mau dan mampu mengelola sampahnya. Karenanya, sekolah pasti dapat menjadi solusi bagi permasalahan sampah Indonesia.


Pemilahan sampah di Al Umanaa

Contohnya sekolah saya sendiri, Al Umanaa. Kami selalu ditanamkan pemahaman bahwa “Kebersihan itu Sebagian dari Iman”, sehingga siswa-siswi di sekolah saya takut jika membuang sampah sembarangan.  Sekolah saya telah memulai pengelolaan sampahnya sendiri. Sampah kami pilah menjadi enam jenis, compostable (sampah mudah terurai), recyclable (sampah yang dapat didaur ulang), sanitary waste (sampah medis), hazardous waste (sampah berbahaya), trash (sampah yang tidak dapat didaur ulang), dan paper (kertas). Sampah kertas selanjutnya kami olah menjadi kertas daur ulang (recycle paper). Sistem pemilahan enam jenis ini baru kami mulai Januari 2016. Sebelumnya kami hanya memilah sampah menjadi dua jenis, yaitu organik dan anorganik. Alhamdulillah, sistem ini berhasil dijalankan dengan sempurna oleh siswa-siswinya hanya dalam rentang waktu satu minggu. Ini disebabkan karena kami berada dalam sistem pendidikan yang baik. Setiap kesalahan pasti akan ditegur dan dievaluasi secara langsung. Hal ini menyebabkan kami terbiasa untuk membuang sampah dengan benar. Kami pun terdorong untuk memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, seperti motto kami “Kami tinggal di bumi, dan kami mencintainya. Maka, mari menjaganya!” 

Jadi, saya sangat yakin bahwa lembaga pendidikan adalah tempat yang benar-benar tepat untuk memulai sistem pengelolaan sampah yang baik. Insya Allah, jika semua sekolah di Indonesia telah melakukan pendidikan sampah pada siswanya, maka rumah-rumah, kantor-kantor, dan tempat-tempat umum pun akan mengelola sampahnya dengan baik. Karena sekolahlah yang menentukan kualitas masyarakat suatu bangsa. Alhasil, Indonesia dapat menjadi negara yang beradab! Negara yang maju dan bermartabat!

Tulisan ini dikutip dari : http://www.alumanaa.com/?p=634

Rabu, 13 Januari 2016

Ilmu dari Alam

Saya adalah anak yang dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota. Segala akses kemudahan teknologi di kota besar sudah saya cicipi. Dari aktivitas saya sejak kecil hingga kuliah, keluarga saya menilai bahwa saya memang senang bermain di alam. Saat itu, saya mengamini hal tersebut. Namun saya definisikan bermain, belajar, dan mencintai alam sesuai dengan pengalaman saya saat itu. Dari kecintaan saya berjalan-jalan ke alam bebas, aktivitas outdoor tanpa khawatir warna kulit menjadi gelap, dan aktivitas saya di bidang pelestarian lingkungan, saya merasa bahwa diri saya sangat mencintai alam ciptaan-Nya ini, dan ingin banyak dekat dengan alam. 

Berpindah kota ke Bandung saat kuliah adalah sebuah kemahalan bagi saya ketika bisa mendapatkan bahwa menemukan daerah pepohonan yang masih hijau tidak sulit di sini. Bahkan jika disempatkan, saya bisa menikmati setiap akhir pekan saya untuk ‘dekat dengan alam’. Sampai saat itu, saya masih merasa bahwa saya memang mencintai alam ini.
Tak kenal maka tak sayang
Di detik ini, saya harus katakan bahwa saya salah mengenali diri saya. Saya tidak pernah benar-benar mencintai alam ini. Bahkan saya hanya menjadikannya sebuah ‘hiburan’ di tengah kesibukan saya yang lain, sebagai pemanis di tengah kesuntukan saya, dan sebagai latar indah di balik foto-foto saya. Saya tidak sedikitpun menghabiskan keringat dan pikiran dalam hidup saya dengan pertanyaan seperti : “Darimana makanan saya berasal? Bagaimana cara saya mengelola alam agar saya dan generasi selanjutnya bisa menghasilkan bahan makanan seperti ini?”. 

Alam menjadi tanggung jawab manusia untuk dikelola dengan bijaksana, sebagai pemenuhan kebutuhan seluruh umat manusia.
Saya mengatakan bahwa saya punya kegelisahan dengan masalah banyaknya sampah sisa makanan justru lebih kepada khawatir akan permasalahan sampah yang membludak di kota, di mana justru sense yang terbangun seharusnya lahir dari akar masalah bahwa proses pembuatan makanan itu panjang dan tidak seharusnya kebutuhan primer ini disia-siakan. Poin kedua saya katakan dan saya amini setiap saya terlibat dalam diskusi dengan kawan-kawan yang memiliki kepedulian di bidang pangan, namun lagi-lagi saya harus katakan bahwa saya sejujurnya tidak paham bagaimana sebenarnya ‘proses produksi makanan yang panjang’ itu. Saya tidak benar-benar mengenal langsung hingga saya merasakannya sendiri. Tak kenal maka tak sayang benar-benar saya resapi maknanya di detik ini.
Alam itu cerminan kehidupan manusia
Ini yang sangat mahal. Belajar dari alam yang saya kenal dulu sempit sekali. Mempelajari tingkah laku dan pertumbuhan makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan hanya sebagai sebuah hafalan tidak bermakna. Sesekali menjadi wawasan untuk bekal pemanfaatannya dalam kehidupan manusia. Namun rupanya ada pelajaran dan makna yang sangat berharga dari alam. Bagaimana Sang Pencipta mendesain pertumbuhan sebuah tanaman, cara hidup masing-masing jenis hewan, semuanya adalah refleksi dari kehidupan manusia yang patut diambil pelajaran. Sebagai contoh adalah bagaimana seekor elang hidup dalam tulisan saya di sini. Dan bagaimana memahami etos kerja yang paling unggul dari seekor lebah. Bahkan dari melihat proses pertumbuhan semua makhluk ciptaan-Nya, kita akan tersadar bahwa segala sesuatu itu perlu proses dan yang instan bukan sesuatu yang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.

Sebuah tanaman yang berasal dari benih akan menjadi tunas, lalu diletakkanlah ia di dalam pot kecil. Tanaman itu diberikan nutrisi yang sama dengan kondisi lingkungan yang sama di dalam sebuah pot. Namun pada saatnya, ia tumbuh besar dan semakin besar. Jika tidak dipindahkan, ia akan mati. Kalaupun ia bisa tetap tumbuh di dalam pot tersebut, namun terbatas. Terbatas dari segi pertumbuhan, maupun manfaatnya. Namun lain ceritanya ketika tanaman tersebut kita pindahkan ke tanah yang baik, ke lahan baru yang lebih luas, tumbuhnya akan semakin besar dan manfaatnya akan semakin banyak. Jangan kaget ketika di awal perpindahan, tanaman tersebut akan tumbuh merana terlebih dahulu. Namun setelah itu, ia akan menjadi besar dan bisa berkembang memberikan manfaat yang jauh lebih besar. Seperti halnya manusia. Sudah kodratnya untuk dilepaskan dari zona nyamannya, kampung halamannya, lingkungan di mana ia dimanja, untuk menjadi orang yang besar. Meskipun di awal perpindahannya akan sakit rasanya, namun itu sudah menjadi fitrah dan hal yang biasa. Seperti seekor elang yang harus melewati fase sakit luar biasa untuk menjadi hewan yang kuat.

Saya belum lama keluar dari pot itu. Namun tidak ada kata terlambat. Meskipun begitu, tunas muda itu akan lebih besar manfaatnya ketika dikeluarkan di saat muda. Pendidikan yang dekat dengan alam itu harus dimulai dari sedini mungkin. Di situlah peran besar orang tua. Seperti sebuah induk tanaman yang melepas bagian tunas mudanya agar bisa berdiri sendiri dan tumbuh besar.
Manusia itu sudah kodratnya didekatkan dengan alamnya. Semakin kenal dirinya dengan apa yang diciptakan-Nya, maka akan semakin kenal pula dirinya pada penciptanya.